Maafkan jika saya masih menyoal jebloknya prestasi kontingen Indonesia pada Sea Games Kuala Lumpur 2017 lalu. Mengapa? Karena catatan sejarah itu akan terukir sepanjang masa, menandai periode kelam olahraga nasional yang harus dialami oleh bangsa Indonesia. Kondisi yang sekalipun bikin ngelus dada, tetapi terasa sayang sekali untuk dilewatkan tanpa adanya sedikit catatan mengenai hal tersebut.
Oke, saya akan memulai artikel ini dengan satu pertanyaan:
"Menurut Anda, faktor apakah yang membuat kontingen Indonesia hanya menduduki peringkat kelima dalam Sea Games Kuala Lumpur 2017 lalu? Lantas, apa yang bisa diperbaiki demi prestasi olahraga nasional pada masa mendatang?"
Budiarto Shambazy, dalam wawancara di Metro TV beberapa hari lalu, tepatnya 1 September 2017, mengatakan, "Kegagalan Indonesia dalam Sea Games 2017 adalah 'Blessing in Disguise' yang harus ditindaklanjuti."
Kegagalan prestasi sejak Sea Games 1993 di luar Indonesia, lanjut Shambazy, sepertinya sudah membangunkan semua pihak sehingga Presiden Joko Widodo pun berjanji akan mengadakan evaluasi besar-besaran terhadap olahraga Indonesia.
****
Menurut analisis saya, ada tiga faktor besar yang menurut saya menjadi penyebab merosotnya olahraga Indonesia selama beberapa dekade terakhir: PERTAMA, kurangnya minat untuk menekuni olahraga karena masa depan yang tak menentu dan range usia emas para atlet yang pendek (maks. usia 30-an). Solusi yang disampaikan oleh Imam Nahrawi selaku Menpora, pada acara yang sama, antara lain beliau menyampaikan mengenai janji untuk mengangkat para atlet peraih emas di Sea Games 2017 sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ada pula janji untuk memberikan rumah bagi para atlet berprestasi.
KEDUA, kurangnya komitmen untuk menyiapkan para atlet sejak dini, juga kurikulum minimnya perhatian seputar olahraga prestasi di kurikulum sekolah-sekolah di Indonesia. Solusinya tak lain adalah komitmen ulang untuk memulai aksi nyata dalam menyiapkan para atlet sejak dini. Selain itu, perlunya evaluasi ulang kurikulum tentang olahraga prestasi di sekolah-sekolah. Saya setuju sekali dengan ide ini, karena sudah menjadi "rahasia umum" jika olahraga masih menjadi "anak tiri" di sekolah-sekolah, sekalipun tidak bisa disamaratakan terjadi di semua sekolah.
Pertanyaannya:
Berapa banyak sekolah menaruh olahraga sebagai "mata pelajaran" (mapel) yang dianggap setara dengan mapel lainnya? Prestasi siswa di ajang olahraga apakah sudah setara (pengakuan dan penghargaan) dengan prestasi di mapel populer, seperti matematika atau IPA? Berapa banyak sekolah atlet yang berjalan dengan sistem yang terstruktur, profesional, dengan dukungan dana kuat dan jenjang kompetisi yang jelas mulai tingkat daerah hingga pusat? Berapa banyak perusahaan juga telah memberi perhatian serius terhadap prestasi olahraga, seperti misalnya, yang dilakukan oleh Djarum Kudus dengan PB Djarum-nya?
Sekadar info, PB Djarum saja, yang sudah serius dalam membina para calon atlet daerah dan nasional pun, belum lama ini mengeluhkan kurangnya mental juara dari para calon atlet muda yang mereka bina, bagaimana yang masih asal-asalan? Silakan terka jawabannya, atau Anda mungkin sudah tahu jawabannya.