Lihat ke Halaman Asli

Widjaya Harahap

a quietude storyteller

Human Animal

Diperbarui: 3 Januari 2021   09:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peristiwanya terjadi di Bangkok, Thailand, dua puluh lima tahun yang lalu.

Menjelang senja. Sebagai perintang-rintang waktu menunggu masuknya waktu shalat Maghrib, aku berkeliaran window-shopping di mall yang berada di kompleks hotel tempatku menginap di Central Plaza Ladprao.

Di depan ruang pamer sebuah toko alat-alat elektronik aku menampak orang-orang berkerumun menonton siaran televisi. Diseret oleh keingintahuan, aku menghampiri dan ikut menonton. Sebuah channel berita TV lokal menayangkan sebuah adegan yang menampilkan seorang ibu lanjut usia duduk di atas sebuah kursi putih yang berukir indah di ruang tamu rumahnya. Di sebelahnya, seorang putranya duduk mendampingi. Penampilan ibu dan anak serta interior rumahnya cukup jadi penanda bahwa mereka dari keluarga yang sangat berpunya.

Yang menarik perhatian adalah, di hadapan kedua anak-beranak itu bersimpuh dua orang laki-laki. Tangan dan leher keduanya dipenuhi hiasan rajah-tubuh alias tato (tattoo). Guratan wajah mereka sangar, seperti lazimnya orang yang melakoni kehidupan yang keras. Namun kontras dengan penampilan fisiknya, yang tampak adalah berkali-kali kedua laki-laki itu bersujud di dekat kaki sang ibu, dengan tersedu-sedu tidak kuasa mengendalikan tangisnya.

Aku tak mengerti bahasa Thai. Beruntung, dari seorang penonton yang bisa berbahasa Inggris aku dipahamkan bahwa peristiwa yang sedang diberitakan ini adalah acara permohonan ampun dari kedua laki-laki bertato itu kepada ibu yang duduk di kursi di hadapan mereka. Keduanya adalah tertuduh pembunuh bayaran yang disewa oleh seseorang untuk membunuh salah seorang putra sang ibu.

Seseorang itu adalah tokoh yang menjadi saingan politik si korban dalam kontes pemilihan untuk satu jabatan politik di Thailand. Seseorang yang menghalalkan sebuah siasat yang keji: berupaya memenangkan persaingan dengan cara membunuh lawan politik. Tak ubahnya binatang buas yang hanya mengandalkan instingnya yang primitif.

Kejadian ini mengingatkan pada apa yang oleh Thomas Hobbes disebut sebagai: Homo homini lupus (Manusia adalah serigala bagi sesamanya); sekaligus menegaskan bahwa manusia adalah makhluk paradoks.

Kedua laki-laki itu menjalani profesi dan mencari penghidupan sebagai pembunuh bayaran. Dalam satu kesempatan menjalani laku pemberani, menghilangkan nyawa manusia. Mengambil risiko bergelimang dosa besar terhadap manusia dan kemanusiaan. Pada kesempatan ini tersungkur beriba-iba memohonkan ampunan dari ibu korbannya bukan karena takut akan ancaman hukuman atas tindak pidana yang dilakukannya; melainkan takut akan ancaman hukum karma atas dosanya, yang menunggu di kehidupan berikutnya.

Seseorang yang menyewa jasa pembunuh bayaran itu, tokoh dari sebuah masyarakat yang luas dikenal sebagai yang perilakunya sangat santun, dapat seketika menjelma menjadi makhluk yang biadab dan durjana. Serigala dengan paradoks yang sempurna.

***

Yang berikut ini juga berkenaan dengan salah satu sisi negatif manusia, yaitu amarah. Yang senantiasa mengusik pikiranku adalah kehadiran kosakata amok atau amuck dalam bahasa Inggris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline