Lihat ke Halaman Asli

Widz Stoops

TERVERIFIKASI

Penulis buku “Warisan dalam Kamar Pendaringan”, Animal Lover.

Ambil Saya dari Indonesia, tapi Jangan Ambil Indonesia dari Saya

Diperbarui: 10 Oktober 2020   13:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi paspor Indonesia. (SHUTTERSTOCK/TEMITIMAN)

Sebelum pindah ke negeri paman Sam, saya tinggal di Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan cukup ternama di Jakarta yang bergerak dibidang MICE  (baca: Meeting, Incentive, Conference, Exhibition). Pekerjaan tersebut memberi peluang saya untuk bepergian ke tempat-tempat di dalam maupun luar negeri.

Peluang itu pulalah yang akhirnya mempertemukan saya dengan suami. Tapi tulisan saya kali ini bukan untuk membahas tentang story of my love, lho, melainkan untuk menceritakan sedikit pengalaman saya tinggal di negeri orang.

Sudah hampir 20 tahun saya tinggal di sini, setiap tahun saya menyempatkan diri untuk mudik selama 3-4 minggu mengunjungi handai taulan di tanah kelahiran tercinta. Kecuali tahun ini, karena terhalang oleh pandemi.

Sebagai pemegang green card, yang kalau di Indonesia setara dengan kartu izin tinggal menetap (KITAP) lebih dari 10 tahun, sebetulnya saya bisa kapan saja dengan mudah untuk merubah warga negara.

Kalau dipikir-pikir pemegang green card itu cukup ribet loh karena saya harus meluangkan waktu ke Imigrasi untuk memperpanjang green card tersebut setiap masa berlakunya habis.

Biayanyapun tidak murah untuk ukuran kantong saya. Tapi biarlah hitung-hitung devisa buat paman Sam sebagai bentuk terima kasih saya sudah diperkenankan hidup dan mencari nafkah di sini.

Belum lagi passport Indonesia yang juga harus terus saya perpanjang kalau saya tidak ingin status kewarga negaraan saya dicabut.

Mungkin banyak yang bertanya-tanya, "Kalau ribet, kok masih saja mempertahankan status WNI-nya?

Alasan saya tetap mempertahankan status WNI ini sebetulnya adalah alasan pribadi sih yaitu bentuk apresiasi kepada almarhum daddy saya yang pernah menjadi seorang anggota PETA (Pembela Tanah Air), beliau turut berada di garis depan untuk menumpas tentara Jepang waktu itu.

Kasarnya mungkin seperti ini "Bapaknya sudah capek-capek membela tanah air, kok sekarang anaknya membelot jadi warga negara asing?"

Perjuangan saya tetap jadi WNI, tidak cuma diribetin oleh soal perpanjangan green card, passport, dan lain-lainnya saja tapi juga menghadapi cibiran yang justru datangnya dari bangsa saya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline