Lihat ke Halaman Asli

Widi Wahyuning Tyas

Menulis kadang sama menyenangkannya dengan nonton mukbang.

Sebetulnya, Rindu Tak Pernah Salah

Diperbarui: 29 Maret 2020   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Matahari belum terlalu tinggi ketika  aku bangun. Karena masih work from home, aku niatkan untuk cepat menyelesaikan pekerjaan supaya masih punya waktu untuk workout di sore hari. Tiba-tiba sepotong kalimat bijak melintas di layar ponsel. Sebuah quote konfusius  yang di-share oleh salah satu teman di Instagram.

"Waktu adalah emas. Tapi waktu yang telah hilang tidak akan bisa dibeli dengan emas"

Ah, aku sepakat, tapi sekaligus benci.

Alih-alih membuka laptop untuk menyelesaikan pekerjaan, aku malah tergoda untuk membuka arsip instastory Instagram.

Beberapa wajah muncul, lengkap dengan berbagai macam ekspresi. Kebanyakan dari mereka tertawa. Ada juga yang bertingkah konyol dan kurekam dengan tidak sengaja. Sedang sisanya adalah potret diriku sendiri yang gemar berswafoto selayaknya perempuan pada umumnya.

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba aku merasakan panas menjalari ruas-ruas dadaku. Padahal toh itu hanya sebuah potret, atau video pendek dengan durasi tak lebih dari 15 detik.

Kenangan-kenangan itu seperti roll film yang diputar dalam frame memoriku. Membuatku terlempar dalam setiap adegan yang terekam.

Aku masih ingat betul bagaimana malasnya pergi ke kampus di jalanan Pantura yang kacau dan penuh polusi. Biasanya, aku telat 15 menit setelah sebelumnya berpapasan dengan Tustus, Taufik, Catur, dan 'gank telat' lain yang ikut berdesak-desakan menunggu lift.

Aku ingat bagaimana rasa nasi bungkus perpustakaan dengan lauk tumis buncis dan telur ceplok, kadang juga ditemani dengan kering tempe. Makanan itu jadi pilihan anak-anak nugas seperti Haiqal, mas Alwani, Mukmin, Cahyo, dan anak-anak lain yang tidak punya banyak waktu untuk ke kantin.

Aku ingat bagaimana 4 tahunku dengan Dewi. Kami adalah teman sekamar sebelum dia memutuskan untuk pindah kosan. Beberapa kali kami memasak bersama. Biasanya, sayur bayam atau sayur sop jadi menu pilihan karena mudah dimasak oleh kami yang kemampuan masaknya masih penuh keterbatasan. 

Pernah suatu kali, setelah selesai memasak sayur sop, Dewi tidak sengaja menumpahkan hand body lotion ke dalamnya. Padahal, sepanci penuh sayur itu masih mengepul, dan terlihat nikmat jika disantap dengan nasi hangat. Tapi, kami harus ikhlas membuangnya karena rasanya betul-betul seperti hand body lotion. Aku serius.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline