Sebagai organ yang membantu proses ekskresi berupa air seni, ginjal memegang peran penting dalam tubuh manusia. Namun, tak sedikit orang yang kurang aware terhadap kesehatan ginjal. Hal ini terlihat dari masih banyaknya orang yang melakukan kebiasaan-kebiasaan sepele padahal berdampak buruk pada ginjal, seperti menahan kencing dan minum sambil berdiri.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut jika dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama bisa menyebabkan gangguan ginjal. Jika dulu umumnya gangguan ginjal menyerang orang dewasa, kini anak-anak juga berpotensi terkena gangguan ginjal.
Gangguan ginjal pada anak bisa ditangani jika dideteksi sejak dini dengan mencermati gejala-gejala yang muncul. Penanganan yang terlambat bisa membuat gangguan ginjal berujung pada gagal ginjal. Penyakit ini membutuhkan perawatan pencucian darah atau hemodialisis dan jika sudah sangat parah harus melakukan transplantasi ginjal. Tentu saja biaya yang diperlukan tidak sedikit.
Melansir CNNIndonesia, dokter spesialis anak, dr. Eka Laksmi Hidayati, mengungkapkan bahwa berdasarkan waktu terjadinya, gangguan ginjal pada anak dibagi menjadi 2 jenis, yakni bawaan sejak lahir yang ditandai dengan kelainan bentuk ginjal dan saluran kemih, serta gangguan ginjal yang didapat setelah lahir yang ditandai dengan radang ginjal akibat bukan infeksi dan infeksi saluran kemih.
Selain itu, gangguan ginjal pada anak juga bisa dibedakan berdasarkan kondisinya, yakni akut dan kronik. Gangguan akut merujuk pada kerusakan fungsi ginjal secara mendadak dan singkat yang disebabkan oleh penyumbatan sistem filtrasi ginjal, dehidrasi, cedera, pendarahan, operasi, dan trauma luka bakar. Meski demikian, gangguan ginjal akut bisa ditangani.
Sementara gangguan ginjal kronik biasanya terjadi selama lebih dari tiga bulan dan umumnya hingga seumur hidup. Jika tidak segera ditangani, gangguan ginjal kronik bisa terjadi seumur hidup karena harus terapi lantaran tidak bisa diperbaiki.
Secara umum, kasus gangguan ginjal pada anak mencapai 33,7 persen dengan jumlah angka kematian sebanyak 13,8 persen. Di Eropa, pada 2017, prevalensi gagal ginjal mencapai angka 55-60 jiwa per satu juta populasi anak. Sementara di Amerika Serikat, tercatat sebanyak 9.800 kasus gangguan ginjal terjadi pada 2017, padahal tahun 2015 hanya berjumlah 1.399 kasus.
Di Indonesia sendiri, data Ikatan Dokter Anak Indonesia atau IDAI mencatat, sejumlah 212 anak dari 19 rumah sakit melakukan cuci darah lantaran mengalami gangguan ginjal pada 2017. Angka kematian dari kasus ini mencapai 23,6 persen dengan rentang usia pasien gangguan gagal ginjal yang beragam, mulai dari usia 0 hingga 17 tahun. Pasien paling kecil berusia 3 bulan dan ditangani oleh RSCM Jakarta. Fakta mengejutkannya adalah bahwa gangguan ginjal banyak dialami oleh anak yang sehat, namun terpicu oleh masalah dehidrasi yang ujung-ujungnya menimbulkan masalah pada ginjal.
Menyoal penyebabnya, gangguan ginjal pada anak sebanyak 16 persen terjadi karena sindrom nefrotik yang menyebabkan protein bisa lolos ke urine. Secara awam, sindrom ini umumnya dikenal dengan ginjal bocor.
Penyebab kedua dengan persentase 14,6 persen adalah adanya radang bukan infeksi seperti penyakit lupus. Sementara sebanyak 13,2 persen tidak diketahui penyebabnya, dan 12,3 persen disebabkan karena adanya hipoplasia atau ginjal kecil. Eke menyebutkan bahwa penyebab yang tidak diketahui karena bayak pasien yang datang saat penyakit sudah pada tahap stadium lanjut, sehingga sulit di cari tahu penyebabnya.
Kendati demikian, gangguan ginjal tetap sebuah penyakit yang bisa dideteksi melalui gejala. Pada anak, gejala gangguan ginjal yang banyak ditemui dan berhubungan langsung dengan saluran kemih adalah munculnya bengkak yang simetris pada seluruh tubuh. Pembengkakan tersebut terjadi karena penumpukan cairan di dalam tubuh yang tidak bisa dikeluarkan oleh ginjal dalam bentuk urine.