Lihat ke Halaman Asli

Widi Wahyuning Tyas

Menulis kadang sama menyenangkannya dengan nonton mukbang.

Japanese Encephalitis, Radang Otak Yang Terlihat Sepele

Diperbarui: 9 November 2018   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beberapa bulan belakangan ini, isu penyebaran penyakit Japanese Encephalitis di pulau Bali santer terdengar. Penyakit radang otak ini disebabkan oleh virus Japanese Encephalitis yang memang merupakan salah satu penyakit penyebab masalah kesehatan di daerah Asia, termasuk Indonesia.

Japanese Encephalitis merupakan penyakit yang bersifat zoonosis atau bersumber dari binatang. Penularan virus penyakit ini sebenarnya cukup mudah saja, hanya melalui binatang seperti nyamuk, babi, unggas liar, dan burung sawah. Pada musim hujan seperti sekarang ini, nyamuk bakal lebih aktif, terutama di malam hari. Namun umumnya, nyamuk yang berpotensi menularkan penyakit ini memiliki habitat di area persawahan dan irigasi. Tak heran Bali menjadi tempat yang rentan terkena virus ini mengingat pulau tersebut memiliki ladang persawahan yang cukup luas. Selain itu, peternakan babi juga banyak ditemukan disana.

Melansir CNNIndonesia, pada 2016 saja jumlah kasus penyakit Japanese Encephalitis dilaporkan terjadi sebanyak 326 kasus. Bali menjadi daerah yang paling banyak mengalami kasus ini, yakni berjumlah 226 kasus atau sekitar 69,3 persen dari total klasis yang dilaporkan.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementrian Kesehatan, Anung Sugihantono, mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan salah satu daerah yang menjadi jalur migrasi unggas liar. Tak hanya itu, dalam riset Rikhus Vektora pada 2016, Badan Litbangkes Kemenkes menemukan 22 spesies kelelawar yang positif memiliki virus Japanese Encephalitis di beberapa wilayah di Indonesia. Ini merupakan salah satu permasalahan yang patut diantisipasi mengingat banyak masyarakat Indonesia yang mengonsumsi unggas liar dan kelelawar untuk alasan pengobatan.

Sementara untuk nyamuk, penularan dilakukan oleh nyamuk culex yang bersifat antrosoofilik. Nyamuk ini tak hanya menghisap darah binatang, namun juga manusia. Sebenarnya tak hanya manusia yang berpotensi terkena virus tersebut karena nyamuk culex memang biasanya juga menghisap darah binatang. Itu lah mengapa binatang juga pada akhirnya ikut-ikutan terinfeksi virus tersebut.

Saat seseorang digigit oleh nyamuk ini, ia akan merasakan beberapa gejala seperti mendadak demam tinggi, perubahan status mental, pusing, hingga gejala gastriintestinal. Umumnya, gejala ini akan muncul setelah 4-14 hari setelah gigitan nyamuk tersebut mengalami masa inkubasi. Parahnya lagi, gejala itu juga disertai perubahan gradual seperti gangguan bicara, berjalan, dan adanya gerakan involuntir ekstremitas maupun disfungsi motorik lainnya.

1 dari 200 penderita penyakit ini menunjukkan gejala berat yang berkaitan dengan peradangan otak seperti disorientasi, kaku tengkuk, koma, kejang, hingga lumpuh. Namun, gejala ini berbeda dengan yang dialami anak-anak, yakni muntah, diare, kejang, iritabilitas, dan demam. Untuk kejang sendiri terjadi pada 75 persen kasus anak.

Sayangnya, gejala penyakit Japanese Encephalitis yang mirip dengan flu ini membuat penyakit ini sulit dideteksi secara dini. Padahal, penyakit ini tak bisa disepelekan, lho! Japanese Encefalitis menyebabkan kematian dengan persentase 5-30 persen, dan bisa lebih tinggi pada anak-anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline