Lihat ke Halaman Asli

Widi Suryati

Saya merupakan mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad

Jurnalis Perkaya Produk Jurnalistik Lingkungan untuk Memikat Publik terkait Isu Perubahan Iklim

Diperbarui: 17 Mei 2022   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Talkshow Parade Jurnalistik Unpad mengundang perwakilan WALHI Jawa Barat, Selasa (17/5). Dokpri

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Meiki Wemly Paendong, memaparkan gencaran upaya jurnalis dalam meningkatkan kesadaran publik terkait isu perubahan iklim. Kondisi alam yang sudah tidak bersahabat mendorong media turun tangan dalam menunda bahaya akibat perubahan iklim.

Meiki mengatakan belum ditemukan penyangkalan publik terkait upaya meminimalisasi climate change. Namun, pengetahuan publik terkait isu lingkungan dinilai masih minim, maka media dan lembaga lingkungan harus kian gencar menyuarakan isu lingkungan.

Di Indonesia, belum ditemukan media yang sepenuhnya menggunakan science journalism. Namun, penggencaran edukasi lingkungan sudah banyak dilakukan oleh berbagai media. Bahkan, pengemasannya pun terbilang menarik karena dibuat dalam bentuk feature yang menyisipkan sisi psikologis.

Media lingkungan yang gencar membuat informasi di antaranya Mongabay, Greeners, dan BetaHita. Mereka menyuguhkan isu lingkungan berbasis ilmiah dan investigasi mendalam. Konon, media lingkungan tersebut berawal dari para jurnalis di media mainstream yang sama-sama tertarik dengan isu lingkungan. Kedepannya, para jurnalis berharap semakin banyak masyarakat yang perduli lingkungan dan dapat membuat aksi nyata pula.

Sebagai organisasi lingkungan, WALHI Jawa Barat gencar memberi edukasi, informasi, serta sosialisasi untuk meminimalisasi dampak perubahan iklim. Tentunya, hal tersebut dilakukan dengan adanya kolaborasi bersama media dan organisasi lingkungan lainnya. Kolaborasi tersebut menghasilkan liputan mendalam yang mengkampanyekan isu terkait.

Setelah dianalisis, produk jurnalistik yang banyak digemari publik yakni berbentuk audio dan visual karena terkesan lebih menarik dan mudah dipahami. Namun, Meiki menegaskan produk jurnalistik berbentuk tulisan, baik cetak maupun digital harus tetap diproduksi, mengingat karya audio dan visual memiliki keterbatasan ruang dan waktu.

Dalam perjalanannya, para jurnalis pun menemukan berbagai hambatan dalam menyuarakan isu lingkungan. Kesulitan membangun story telling, pencarian personil media, hingga keterbatasan pemahaman tentang isu terkait. Namun, dengan adanya relasi dan informasi, hambatan tersebut seakan diterobos agar kepentingan khalayak tetap bisa diutamakan.

"Jurnalis harus bisa mengelola jaringan dan jangan sungkan untuk bertanya, tapi tetap harus diawali dengan ketertarikan," ujar Meiki.

Sosialisasi lingkungan harus kian digencarkan, mengingat bencana alam sudah banyak terjadi. Meiki memaparkan, perubahan iklim terdekat baru terjadi di Sumedang, Jawa Barat tepat pada 4 Mei 2022. Sempat menduga adanya alih fungsi lahan, tetapi nyatanya longsor terjadi karena adanya perubahan iklim yang dipicu hujan badai dan angin kencang. Ini berarti, perubahan iklim  sudah meluas hingga ke daerah di pedesaan.

Berdasarkan pemahamannya, Meiki menegaskan bahwa suatu wilayah harus memiliki ruang terbuka hijau minimal 30%. Sementara kini, kota Bandung hanya memiliki 12 -- 15% ruang terbuka hijau. Maka tak heran, jika wilayah pedesaan pun sudah merasakan dampak perubahan iklim yang terjadi.

Meiki mengatakan minimnya ruang terbuka hijau memicu terjadinya bencana alam. Bahkan, sumber alam di kota Bandung pun diperkirakan sudah tidak bisa dieksploitasi. Melihat kondisi alam yang sudah usang, Meiki menekankan agar pembangunan fisik dikurangi agar nantinya tidak terjadi perebutan sumber daya alam di berbagai daerah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline