Lihat ke Halaman Asli

Bila Matahari Tak Mampu Bersinar Lagi

Diperbarui: 30 Maret 2022   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bila Matahari Tak Mampu Bersinar Lagi

Banyak orang bilang bermimpilah setinggi-tingginya dan imajinasikan apa yang kamu inginkan dalam mimpi itu serta perjuangkanlah apa yang kamu impikan dan nantinya kamu akan jatuh di bintang-bintang yang sudah kamu harapkan itu.Namun apalah artinya bagiku. Hah... Apalagi yang akan kau lakukan? Imajinasi sudah tak ada artinya lagi, harapan pun tak pasti. Hanya putus asa yang datang menghampiri.

Bantaran sungai adalah tempat favoritku untuk melamun. Namun terkadang aku membencinya. Iya betul. Bagaimana tidak? Sungai saja dapat mengalir tanpa henti, tetapi cerita hidupku hanyalah hambatan bagiku untuk melakukan keseharian. Ah, sudahlah, tak penting membicarakan hal yang tidak jelas. 

"Woi Doni kerjaan lu ngelamun terus, ini cuci piring cepet", teriak Jamal dengan nada tinggi. 

"Ya Mal, kalem napa", ketusku dengan kesal. 

Warteg kencono, satu-satunya tempat usaha yang menerimaku sebagai pegawai. Ya... "Pegawai" buruh cuci yang kumaksud. Setidaknya memiliki panggilan yang kece. 

"Alah... lemas kali kau" , ucap Mamat.

 "Belum makan saya Mat" , balasku dengan lemas.

 "Sinilah makan, aku traktir tapi jangan kau ambil banyak-banyak" , ucap Mamatdengan nada kasihan. 

Aku langsung pergi ke arah Mamat dan memesan makan. Nasi dan telur rebus favoritku. Makanan murah namun dapat menahan lapar dua hari. Jangan kaget dong hehehe...

Kota metropolitan sebutannya, pusat ekonomi, tempat orang-orang mengais rezeki. Merampok, begal, mengemis, dan menjadi budak. Begitulah rusaknya. Ah sudahlah. Menggerutu tak membuat piring itu tercuci sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline