Wajahnya berseri-seri dan menyiratkan kebanggaan. Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan bagaimana anaknya bisa diterima di sekolah negeri favorit yang berjarak kira-kira 1,5 kilo meter dari tempat tinggalnya.
"Masuk lewat belakang lah, hehe," ujarnya sambil terkekeh.
Saya kemudian manggut-manggut, dan mencoba menimpalinya dengan bercanda.
"Belakang mana Pak? Bukannya di belakang sekolah itu nggak ada pintu? Adanya kali."
Itu percakapan dua tahun lalu soal penerimaan murid baru. Entah benar atau tidak ucapan rekan senior saya itu soal "jalur belakang", tapi faktanya anaknya memang benar diterima di sekolah itu.
Sudah menjadi rahasia umum, desas-desus soal "jalur belakang", "orang dalam", hingga praktik kecurangan berupa manipulasi data kependudukan mewarnai proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) tiap tahunnya.
Walau saya yakin masih banyak sekolah negeri yang mengedepankan integritas dan mempersempit lahirnya oknum, tetapi sangat disayangkan ketika inisiatif dan niat berbuat curang justru berasal dari para orangtua murid.
Dengan dalih tidak setuju sistem zonasi yang dianggap banyak merugikan, para oknum orangtua ini justru merasa baik-baik saja melakukan manipulasi dan mengakali aturan yang jika digambarkan dalam satu kata, kita cukup menyebutnya dengan kata: curang.
Jika hal semacam itu dilakukan dalam rangka memberikan sekolah yang terbaik bagi anak, tentu saja menjadi kontradiktif. Tujuan menyekolahkan anak selain memberikan ilmu pengetahuan juga memberikan pendidikan soal kejujuran, etika, serta adab yang baik.
Kan lucu sekaligus miris, mengharapkan si anak jadi pribadi yang hebat, berkarakter, berintegritas dan jujur melalui sekolah yang dianggap favorit, eh justru orangtuanya rela menempuh jalur curang untuk itu.