Lihat ke Halaman Asli

Widi Kurniawan

TERVERIFIKASI

Pegawai

Bisnis Thrifting Diberangus, Bagaimana dengan Industri Pakaian KW?

Diperbarui: 24 Maret 2023   12:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Thrift shop (sumber: Pexels.com/cottonbro)

Bisnis thrifting atau pakaian bekas impor saat ini benar-benar digencet habis-habisan. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) berulang kali menegaskan bahwa pakaian bekas impor adalah ilegal.

Tak hanya wacana, bahkan beberapa kali diberitakan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan membakar pakaian bekas impor bernilai miliaran rupiah di berbagai daerah.

Terakhir, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pakaian bekas impor sangat merugikan industri dalam negeri.

Semula, tindakan tegas pemerintah dinilai hanya sementara saja, bersifat seremonial semata dan selanjutnya bakal menjamur lagi tren bisnis thrifting tersebut. Tetapi setidaknya dalam kurun tujuh bulan terakhir, pelaku usaha thrifting benar-benar tiarap.

Sebuah toko thrifting di dekat tempat tinggal saya bahkan sudah benar-benar tak pernah buka lagi sejak aksi bakar dilakukan oleh Mendag. Padahal semula toko tersebut sangat ramai dikunjungi dan penjualnya pun aktif melakukan live di media sosial untuk menjaring lebih banyak pembeli.

Thrifting adalah istilah kesekian kalinya yang saya kenal. Dulu zaman masih SMA saya mengenalnya dengan istilah "owolan" di daerah asal saya Temanggung. Kemudian mengenal lagi istilah "awul-awul" ketika saya sudah merantau di Yogyakarta.

Hingga saat merantau di Kendari, Sulawesi Tenggara, istilah yang umum dipakai di sana adalah barang "RB", yang konon berasal dari kata "rombeng". Tingkat popularitas pakaian "RB" saat itu begitu luar biasa, karena minimnya pusat perbelajaan dan distro yang menyediakan fashion bersaing baik dari sisi kualitas dan harga.

Bagi penggemar thrifting, pakaian bekas impor dengan merk-merk ternama adalah solusi praktis untuk bisa tampil gaya dengan fashion original dengan harga yang terjangkau. Terkadang bukan karena memaksakan diri untuk menjadi "branded" dalam hal berpakaian, tetapi karena keberadaan fashion lokal tak mampu bersaing dengan baik.

Pakaian lokal KW masih bertebaran

Sekarang gini aja deh, andai seorang remaja dari keluarga pas-pasan hanya punya budget 150 ribu untuk membeli pakaian, ke mana dia harus membelinya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline