Hujan begitu deras mengguyur langit Bojonggede, malam itu. Di pintu keluar Stasiun Bojonggede, Kabupaten Bogor, orang-orang terhenti langkahnya dan memilih menunggu hujan reda. Entah sampai jam berapa.
Udara dingin menusuk tulang. Terlihat beberapa pria mulai menyalakan api dan menyulut rokoknya.
Bahh... Iya, pahamlah kita-kita ini. Dingin-dingin gitu, hujan deras, pastilah nikmat banget sambil merokok. Tapi itu kan bagi kalian, para perokok.
Lha bagi orang-orang lain di sekitarnya bagaimana?
Asap rokok dari seseorang bapak di depan saya, membuat saya agak menahan emosi. Tapi saya hanya bisa mengibas-ngibaskan tangan ke asap rokok yang meluncur ke muka saya. Walau ingin rasanya mengibaskan tangan ini ke sebatang rokok yang tengah dihisapnya.
Seharusnya dia paham dengan gerakan tangan dan gestur saya yang tidak nyaman. Begitu pula ketika ada seorang ibu di sampingnya mulai batuk-batuk kecil.
Namun pada akhirnya, berlaku pepatah kuno "yang waras yang ngalah". Saya dan ibu itu pun memilih ngeloyor menjauh, menerjang hujan menuju parkiran sepeda motor.
Sebenarnya, kami yang bukan perokok, tidak mempermasalahkan kalian para perokok mau menghisap berapa bungkus rokok dalam sehari. Itu urusan kalian.
Mau cukai rokok naik sampai berapapun, saya yakin kalian bakal tetap mampu membeli rokok tiap hari. Uang untuk rokok bakal selalu ada kapanpun juga.
Iya, mirip dengan kelakuan seorang kerabat saya. Ia kerap mengeluh susah nyari kerjaan, pendapatan tak menentu dari kerja narik ojek. Buat makan atau beli beras kadang ngutang, katanya.