Siapa sih yang senang naik KRL Commuterline? Saya akui saya sendiri senang, tapi bukan berarti cinta. Senang dalam level yang biasa saja, itu pun karena terpaksa, bukan karena sengaja memilih karena nyaman.
Lha memangnya tiap hari berdiri di kereta, antre panjang saat jam sibuk, berhimpitan, berdesakan dan sering keinjek penumpang lain tuh sebuah kenyamanan? Mungkin iya, tapi itu berlaku bagi oknum penumpang yang nyambi jadi copet atau pelaku kejahatan spesialis kerumunan.
Jika ditanyakan kepada para pengguna KRL Commuterline, terutama di Jabodetabek, alasan utama naik KRL tiap hari pasti menunjuk pada faktor murah dan cepat. Selain alasan selanjutnya, yakni tiadanya alternatif transportasi lainnya.
Kita mulai dari faktor murahnya tarif KRL Commuterline Jabodetabek. Saya berangkat dari Stasiun Bojonggede di Kabupaten Bogor dan turun di Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat. Ongkos yang saya keluarkan untuk naik KRL pulang dan pergi adalah 5.000 rupiah x 2 x 25 hari, yaitu 250.000 rupiah per bulan.
Itu belum ditambah dengan biaya parkir nitip sepeda motor di Stasiun Bojonggede, 5.000 rupiah x 25 hari yang ketemu di angka 125.000 rupiah. Kenapa pakai motor segala?
Jelas saja, kan rumah saya lokasinya bukan di sebelah loket stasiun. Jadi nitip sepeda motor di stasiun termasuk langkah penghematan dibandingkan ngojek. Terlebih angkot juga tidak lewat depan rumah saya.
Dari sekian biaya itu, masih harus ditambah dengan biaya transportasi lanjutan, yakni MRT, menuju tempat kerja saya di daerah Blok M, Jakarta Selatan.
Jadi berapakah total keseluruhan ongkos transportasi yang saya keluarkan untuk pulang pergi kerja selama sebulan? Silakan kalau ada yang bantuin menghitung, tulis jawaban di kolom komentar di bawah ini.
Saya sebenarnya sudah menghitung keseluruhan total itu, dan saat dibandingkan dengan apabila saya naik moda transportasi lain, seperti bus Transjabodetabek yang sempat rutin saya naiki di masa pandemi sedang gila-gilanya.