Mata saya masih terlihat merah saat menulis artikel ini. Gegara semalam begadang menonton "The East" melalui Mola TV, film besutan sutradara Jim Taihuttu, warga Belanda keturunan Maluku.
Judul asli film kontroversial produksi tahun 2020 ini adalah "De Oost" yang tayang perdana beberapa waktu lalu melalui Amazon Prime Video.
Film ini berlatar tahun 1946 ketika pasukan Belanda kembali datang ke Indie atau Hindia, atau Indonesia yang saat itu sedang merangkak sebagai negara yang baru merdeka.
Raymond Westerling (diperankan oleh Marwan Kenzari) adalah sosok antagonis di film ini. Dalam sejarah nyata, anak-anak negeri ini melalui pelajaran di bangku sekolah selalu mengingat nama Westerling sebagai pemimpin pasukan Belanda yang bengis dan terkenal dengan peristiwa pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan dan memimpin percobaan kudeta melalui bendera Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di daerah Jawa Barat.
"The East" mencoba bertutur melalui tokoh bernama Johan de Vries (diperankan oleh Martijn Lakemeier), seorang prajurit muda sukarelawan yang semula ditempatkan di kamp wilayah Semarang. Pertemuan Johan dengan "Si Turki" atau "De Turk", julukan Raymond Westerling karena lahir di Istanbul, Turki, menjadi sajian drama utama yang mewarnai film ini.
Johan muda semula tak mengerti mengapa ia bisa sampai di Hindia. Seperti halnya tentara Belanda lainnya, ia memiliki pemahaman bahwa kehadiran pasukan Belanda adalah untuk menjaga perdamaian dan menegakkan kebenaran.
Namun perlahan, yang terbaca kemudian adalah betapa tentara Belanda itu terjebak konflik batin. Ada satu adegan ketika seorang tentara Belanda justru marah dan melempari gambar Ratu Belanda yang dianggapnya hidup enak-enakan di istana sementara tentara seperti dirinya mempertaruhkan nyawa untuk tujuan yang tidak jelas.
Johan juga digambarkan kemudian berkembang menjadi sosok yang berani membunuh lawan demi bakti pada perintah komando atasannya. Walau di sisi lainnya, ia masih memiliki prinsip mengedepankan keadilan.
Sebuah gejolak batin yang terasa riil dalam situasi perang. Tapi sebagai layaknya pion, ia hanya bisa bergerak maju dan dikorbankan.
"The East" memang tak memperlihatkan bagaimana perang berlangsung dari sisi pejuang gerilya yang berusaha mempertahankan kemerdekaan. Bahkan pejuang di sini disebut sebagai "teroris" oleh tentara Belanda.