Lihat ke Halaman Asli

Widi Kurniawan

TERVERIFIKASI

Pegawai

[Fiksi Ramadan] The Power of Sarung Cap Gajah Nunduk

Diperbarui: 14 Mei 2020   04:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sarung (foto: widikurniawan)

Margono mendengus kesal. Mukanya kusut tertunduk lesu ketika masuk ke dalam rumahnya. Ia membanting sarung usangnya di lantai.

"Ngapa kowe Gon? Pulang taraweh kayak abis dikejar setan," tanya Emak.

"Ya memang ada setan ngejar tadi Mak," gerutu Gogon, panggilan akrab Margono.

"Ealah Gon, namanya bulan Romadon, setan-setan tuh dikerangkeng, ndak bakalan itu setan mau ngejar kamu juga," ucap Emak.

"Mak, besok aku ndak mau taraweh di musola lagi. Males aku Mak."

"Yo karepmu Gon! Tapi kamu harus jujur nulis di buku catatan kalau kamu ndak berangkat taraweh. Nilaimu nanti jelek!"

"Mak, taraweh kan karena panggilan hati, bukan karena takut sama buku catatan," Gogon mengelak.

"Bocah! Wis pinter ngomong ya kamu?! Yo wes karepmu, Emak mau lanjut mbungkusin kripik. Kamu mau bantuin Emak apa ndak?"

"Aku mau tidur aja Mak."

Emak hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap Gogon. Tidak seperti biasanya Gogon bersikap begitu. Sambil tangannya mengepak kripik tempe ke dalam plastik, Emak terus memikirkan Gogon, anak satu-satunya dan paling ganteng itu.

Sejak bapaknya Gogon kabur dengan penyanyi organ tunggal dari kampung sebelah, Gogon memang sering uring-uringan. Emaknya yang hanya penjual kripik tempe sering kalah berdebat dengan Gogon. Di umur tiga belas tahun, Gogon tampak seperti anak umur tujuh belas tahun. Baik perawakan maupun cara ngomongnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline