"Mas, kalau ada pom bensin ntar kita mampir dulu ya?" pinta driver ojek online (ojol) yang saat itu tengah membawa saya.
"Silakan Bang, memangnya nggak beli eceran saja?" tanya saya.
"Nggak Mas, lebih enak di SPBU, literannya pas, dapetnya juga lebih murah," ujarnya.
"Lha emang mau ngisi apa Bang? Premium?"
"Nggak lah, nggak bagus pakai Premium Mas, murah sih murah tapi lama-lama tekor motor saya, motor jaman sekarang nggak cocok minum Premium, minimal Pertalite lah, tapi seringnya saya pakai Pertamax kok," jawabnya.
Saya hanya manggut-manggut di belakangnya. Ternyata driver ojol di depan saya ini paham tentang jenis bahan bakar. Paham bahwa Premium memang sudah kurang matching lagi dengan produk sepeda motor terbaru.
"Nggak takut rugi, Bang? Pertamax kan mahal?" telisik saya.
Terkadang heran juga dengan para ojol ini, saya lihat motornya banyak yang bagus-bagus dan mahal, termasuk yang kali ini saya tumpangi. Kalau dibandingkan dengan motor saya di rumah, duuh...
"Motor saya belum lunas Mas, jadi mesti disayang-sayang, mosok dikasih minum Premium, haha, biar ngojek begini mental saya bukan mental subsidi Mas," cerocosnya lagi.
Nah, ini baru greget. Punya prinsip jelas soal jenis BBM yang cocok dan "menyehatkan" mesin kendaraannya. Walaupun memang tidak semua ojol punya pendapat yang sama, dan tentu saja tidak semua ojol punya kemampuan sama dengan driver ini.
Stereotype Premium
Saya sendiri pernah punya pengalaman agak "gimana gitu" ketika hendak mengisi BBM di sebuah SPBU. Saat tiba giliran saya, petugas SPBU tampak tertegun sejenak sambil memegang gagang selang BBM berwarna kuning. Rupanya ia memprediksi bahwa saya akan mengisi bensin jenis Premium untuk sepeda motor saya yang memang terlihat dekil akibat sering kehujanan dan belum sempat saya cuci, dan apesnya lagi karena motor ini keluaran tahun 1991 yang memang terlihat "tua" dibanding motor-motor kekinian.