Masuk angin dan pegal linu adalah jenis penyakit yang paling sering menyapa saya. Jika kedua penyakit itu "berduet" bahkan bisa membuat saya KO dan tergeletak di tempat tidur. Penyakit demikian memang lazim mengincar orang seperti saya yang punya ciri-ciri kurang lebih adalah generasi milenial, tampan, berangkat kerja pagi buta pulang larut malam, pelanggan setia kereta listrik dan sering kehujanan.
Ya, ritme harian saya memang diawali dengan berangkat kerja di pagi buta mengendarai sepeda motor kurang lebih 15 menit ke Stasiun Bojonggede, Bogor. Usai memarkir sepeda motor di penitipan, saya harus berjalan ke stasiun dan mulai berebut tempat dengan orang-orang para komuter untuk mendapat sedikit space tersisa dalam kereta listrik.
Kaki terinjak, tubuh terdorong, perut tersikut dan tangan pegal karena harus menahan dorongan saat berdesakan dalam kereta adalah makanan sehari-hari saya. Sampai di Stasiun Sudirman saya masih harus jalan kaki sekitar 800 meter ke halte busway Tosari untuk naik bus transjakarta ke arah Blok M. Lagi-lagi berdesakan adalah hal yang lumrah sampai dengan sekira 20 menitan hingga saya turun dan berjalan menuju tempat kerja.
Setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan, saya pun harus pulang. Kali ini musuh saya adalah kemacetan dan kadang hujan. Saat pulang saya memilih untuk naik ojek online ke Stasiun Duren Kalibata karena lebih memangkas waktu daripada balik ke Stasiun Sudirman dengan kondisi kemacetan sore dan persaingan penumpang di stasiun yang lebih parah. Jika hujan, tubuh basah kuyup atau motor harus melibas genangan air adalah kejadian yang tidak mengagetkan saya.
Sepulang di rumah, senyuman anak dan istri memang seolah menjadi charger bagi saya. Itupun kalau saya bisa pulang tepat waktu, jika tidak ya harap maklum jika sampai rumah anak-anak sudah tidur dan istri saya membukakan pintu rumah dengan raut wajah penuh keprihatinan. Duuh... Setidaknya masih dibukakan pintu rumah dan bisa tidur di dalam rumah, saya tetap harus bersyukur.
Orang lain yang tidak terbiasa dan ketika melihat keseharian saya berangkat dan pulang kerja, biasanya hanya akan geleng-geleng kepala dan mengelus dada sambil berdecak kagum.
"Makanya saya nggak mau kerja di Jakarta..." kata-kata seperti inilah yang sering saya dengar.
Pegal linu, terutama di punggung dan kaki saking seringnya malah kadang menjadikan saya kebal. Biasa saja bagi saya, paling cukup dioles balsem, minum air hangat yang banyak, lalu tidur. Keesokan harinya sudah siap lagi bekerja demi nusa, bangsa dan keluarga.
Sebisa mungkin saya memang menjaga diri dari sering minum obat. Dikit-dikit minum obat atau dikit-dikit ke dokter, jelas bukan karakter saya.
Jika kondisi tubuh memang sedang tidak bisa diajak kompromi dan benar-benar lelah, perlahan dan pasti masuk angin akan mengambil alih kendali tubuh saya. "Duet" mautnya dengan pegal linu akan semakin menyiksa saya dan ujung-ujungnya kepala jadi ikut-ikutan sakit. Saya pun hanya bisa memelas dan butuh kehangatan.
"Bun, bunda... duh... tolong dong, balsem mana Balsem Lang? Nggak enak banget nih body rasanya..." pinta saya pada istri. Tentu saja istri saya sendiri, bukan yang lain.