Lihat ke Halaman Asli

Widi Johansyah

Menulis untuk keabadian

Perempuan di Reruntuhan Harga Diri

Diperbarui: 16 Desember 2021   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menjadi perempuan ialah takdir. Menjadi perempuan adalah pilihan yang telah ditetapkan dengan seribu kepasrahan menerima kodrat yang dilekatkan oleh budaya. Senyum manis, tutur kata yang lembut, berperangai halus bahkan terampil di dapur dan kasur, membuat perempuan semakin terbelenggu dan terstigma sebagai pelengkap rumah tangga.
 
Bahkan Kartini pun tidak mampu menahan air matanya, taktala ditengah perjuangan untuk memajukan kaumnya, ia tidak mampu menolak takdir ketika harus menikah dan dimadu.
 
Lihatlah pula kehidupan perempuan keraton  yang disembunyikan di balik-balik tembok megah, bahkan disembunyikan dari dunia. Ia hanya menjadi segelas air yang bening untuk selalu siap diminum dan dibuang ketika tak lagi dibutuhkan.
 
Perempuan masa kini, di pendopo-pendopo sibuk merangkai bunga dan melanglang buana. Berbicara tentang kemiskinan pada saat mereka sedang berpesta, membantu anak-anak dengan sisa-sisa pakaian mereka, yang mereka sendiri enggan untuk memakainya lagi.

Perempuan-perempuan di panggung politik, menggunakan nama perempuan sebagai alat untuk kepentingan. Kelak pun perempuan hanya menjadi slogan atau bahkan tujuan untuk kesejahteraan bangsa Adam di masa kini. Itulah perempuan-perempuan yang bukan hanya tidak memiliki nama, akan tetapi juga kehilangan identitas oleh kekuasaan dan kemewahan.
 
Alam ini menjadi panggung air mata, setiap tahunnya ribuan anak perempuan dikorbankan untuk menjadi pelacur-pelacur muda, bahkan dijadikan komoditas seks dunia.
 
Di sekeliling kita, anak-anak belia menjadi tumbal setan dan terluka oleh hawa nafsu. Bahkan dari orang-orang yang seharusnya menjaga, akan tetapi mereka membiarkan dirinya menjadi alat perekat nama keluarga, dan merelakan dirinya menjadi ibu dari benih yang ditanam bapak kandungnya.

Kepedihan bukanlah hanya karena kehilangan kehormatan, namun kemusnahan harga diri lebih menunjam jantung. Bahkan, ketika setiap kali mala petaka itu kembali menelan, helai rambutnya menjadi pisau tajam yang mengiris kulit.

Perempuan-perempuan muda yang termakan bujuk rayu mimpi, tentang baju pengantin sutera putih, mengentas kemiskinan dengan kenikmatan yang diperdagangkan.
 
Perempuan-perempuan pekerja di negeri asing, menyerahkan nasibnya di tangan majikan.
 
Perempuan-perempuan malam, menjajakan kenikmatan dan menjual harga diri dan berpacu dengan kesempatan.
 
Perempuan-perempuan yang harus menelan siksa sebagai makanan, menjadikan malam sebagai teman berangan.
 
Perempuan-perempuan dibelahan dunia lain. Bahkan membakar diri hanya sekedar menjadi simbol kesetiaan, menjadi budak keluarga sang suami demi status, harus membayar dengan harga yang sangat mahal untuk mendapatkan sebuah perkawinan.
 
Perempuan-perempuan syam, di antara peluru perang melawan kekuasaan barat dalam pakaian abaya yang menutup aurat, harus menjadi tumbal nafsu bejat para tentara berbaju loreng. Mulut mereka harus menelan kotoran kelakian, tubuh mereka menjadi boneka mainan dan nyawa mereka hanya sebatas helaan nafas.
 
Perempuan-perempuan Palestina
berlari diantara mortir-mortir untuk menyelematkan anak-anak dan berpacu dengan sang maut untuk mendapatkan sebuah kehidupan, menyimpan makanan dalam jubah, menyimpan dendam dalam setiap denyut aura.
 
Perempuan-perempuan malang tak mampu melawan, meraka tak lagi punya pilihan, mereka kehilangan kesempatan, bahkan harga diripun telah runtuh dalam lingkar melingkar jerat waktu.
 
Rasa sakit ini, entah siapa yang akan mengerti. Menjadi perempuan menjalani sepi, mengais harap dalam  waktu yang tak pasti, semua itu hanyal bayang yang seketika berpaling  menjadi sirna.

Perempuan-perempuan malang, aku kehabisan kata untuk bicara, aku kehabisan makna untuk memahami, aku kehabisan nafas untuk menghidupak sebuah perjuangan. Bahkan, untuk melangkah, aku kalah.

Tak mampu merengkuh air mata, bahkan sekedar mendekap hangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline