Lihat ke Halaman Asli

Widi Bagaskara

S1 Matematika Universitas Airlangga

Sertifikasi Sehat dalam Penyembelihan Hewan Kurban Bukan Pelenggaran HAM

Diperbarui: 6 Oktober 2020   15:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kata qurban berasal dari Bahasa Arab "Qariba" yang berarti dekat atau mendekatkan.  Qurban dapat dimaksudkan sebagai bentuk syukur atas rezeki yang didapatkan, serta sebagai jembatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Qurban merupakan salah satu ritual ibadah yang dilaksanakan oleh umat islam yang biasanya dilakukan pada bulan Dzulhijah pada penanggalan islam, lebih tepatnya yaitu pada Hari Idul Adha tanggal 10 Dzulhijah. Hari idul Adha yang diperingati sebagai peristiwa dimana Nabi Ibrahim bersedia untuk mengorbankan putranya untuk Allah SWT. Melihat pengorbanan tersebut, Allah kemudian mengganti anaknya dengan seekor domba saat peyembelihan akan berlangsung. Dari peristiwa tersebut, sampai sekarang diperingati sebagai hari Idul Adha yang dalam pelaksanaannya dilakukan penyembelihan hewan ternak, bisa kambing atau domba.

Di Indonesia yang merupakan negara demokrasi, ibadah qurban bukan hanya berada dalam wilayah keagamaan, tapi juga bagian dari penikmatan hak asasi manusia (HAM). Jadi harus ada sinkronisasi dalam aturan agama dan hukum pelaksanaan HAM dalam ibadah qurban. Hukum agama sudah menentukan sejumlah prasyarat demi sah nya hewan ternak yang dikurbankan, seperti hewan ternak yang boleh disembelih adalah yang sehat dan telah memenuhi umurnya (dewasa). Hal ini dipertegas oleh hadist Nabi riwayat Jabir, "Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali, apabila itu menyulitkan bagi kalian, maka kalian boleh menyembelih domba jadza'ah." (Mutttafaq'alaih). Sehingga hewan ternak sebisa mungkin harus gemuk, mendapatkan penilaian body scoringnya bagus, dan tidak cacat tubuhnya, sebagaimana sudah digariskan oleh Nabi Muhammad SAW, ada empat jenis hewan ternak yang tidak sah dijadikan hewan qurban yaitu buta, sakit parah, pincang parah dan kurus sekali (HR. at-Tirmidzi).

Peraturan tersebut bertujuan agar dalam pelaksanaan ibadah qurban tidak mengurangi atau meniadakan nilai ibadah itu sendiri, dan agar ibadah qurban tersebut dapat diterima oleh Allah SWT, serta agar nantinya daging ternak hasil penyembelihan dapat dimanfaatkan dengan baik, bukan sebaliknya; membahayakan dan menimbulkan penyakit/ masalah bagi manusia yang mengonsumsinya. Dengan adanya sertifikasi sehat atas hewan ternak yang akan disembelih seperti ini berfungsi sebagai filter dan nilai perlindungan, bahwa tidak semua hewan dapat disembelih untuk dijadikan hewan qurban, dan harus memenuhi syarat tertentu agar tidak menimbulkan efek merugikan. Serta pelaksanaan sertifikasi dapat meminimalisir kemungkinan adanya penyakit pada ternak yang dapat menular ke manusia (zoonosis), dan memininalisir konsumsi daging berbahaya.

Ditinjau dari nilai hukum HAM, masyarakat tidak bisa melaksanakan penyembelihan hewan qurban yang dimilikinya sendiri dengan klaim sedang melaksanakan ibadah qurban dan kemungkinan bisa mengabaikan aspek sosial terkait potensi daging hewan qurban dapat menimbulkan penyakit pada masyarakat yang mengonsumsinya. Sertifikasi dapat dianggap sebagai pembatasan terhadap manifestasi masyarakat. Pembatasan tersebut bukan berarti menghilangkan keseluruhan hak manusia, melainkan membatasi demi kepentingan masyarakat secara umum (public health). Jangan sampai disalah artikan bahwa sertifikasi pembatasan ini menghambat kebebasan dalam mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan (freedom to manifest religion and believe) dan bukan juga pembatasan dalam beragama (freedom to religion). Pembatasan ini bukan pelanggaran HAM.

Apabila semua orang paham pentingnya sertifikasi ini, maka tidak akan timbul masalah kesehatan atas salah konsumsi daging hewan qurban, serta tidak akan ada penuntutan atas pelanggaram HAM karena dinilai membatasi ruang gerak dan kebebasan dalam beragama. Demi mewujudkan semua ini, diperlukan peran banyak pihak untuk membantu memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas agar tidak muncul kesalahpahaman. Terutama pemerintah harus memberikan ketegasan terlebih dahulu, mungkin dengan membentuk peraturan perundang-undangan baru, lalu melalui pegawai pemerintahan mulai dari tingkat atas sampai rendah membantu dalam penerapan peraturan tersebut. Bisa melalui penyuluhan secara massal, kelompok maupun perorangan.


(Penulis : Javica Sukma Argerista - Penerima Beasiswa Baitulmaal Muamalat)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline