Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan Dollar Amerika dalam transaksi pembayarannya terutama dalam perdagangan internasional. Dollar Amerika seringkali mengalami perubahan yang tidak pasti, disaat nilai tukar Rupiah menurun hal itu akan memberikan dampak yang sangat berarti dalam transaksi perdagangan di dunia internasional. Seperti yang kita ketahui bahwa Dollar Amerika digunakan oleh lebih dari setengah bagian dari seluruh transaksi di dunia atau singkatnya transaksi didominasi oleh Dollar Amerika.
Seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia saat ini mulai mengurangi penggunaan Dollar Amerika dalam transaksinya ke luar negeri. Pengurangan penggunaan Dollar Amerika sudah disosialisasikan sejak akhir tahun 2017 lalu. Gubernur Bank Indonesia (BI) yang pada saat itu dijabat oleh Agus Martowardojo mengatakan, "Bisa mengurangi ketergantungan Dollar AS, karena menggunakan mata uang lokal. Misalnya untuk Rupiah ke Ringgit bisa langsung dan tidak perlu membeli Dollar dulu baru di konversi ke Ringgit".
Kemudian hal ini juga di dorong oleh adanya kebijakan transaksi menggunakan LCS (Local Currency Settlement). LCS adalah penyelesaian transaksi bilateral yang dilakukan oleh dua negara berbeda dengan menggunakan mata uang lokal yang berlaku di masing-masing negara. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan penggunaan mata uang Dollar Amerika dalam penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dan memelihara kestabilan nilai mata uang lokal. Kebijakan meninggalkan Dollar Amerika dalam transaksi perdagangan dan investasi ini juga didukung penuh oleh Presiden RI Joko Widodo.
Kebijakan LCS ini pertama kali dilakukan pada tahun 2018, pada saat itu Indonesia melakukan kerja sama dengan Bank Negara Malaysia (BNM) dan Bank of Thailand (BOT). Kemudian, kerja sama LCS diperluas pada tahun 2020 melalui penandatangan MoU antara Ministry of Finance of Japan dan Bank Indonesia. Terbaru, Bank Indonesia (BI) dan People's Bank of China (PBC) secara resmi memulai implementasi kerja sama LCS pada 6 September 2021.
Penggunaan LCS juga dioptimalkan untuk mengurangi dominasi Dollar Amerika dalam transaksi perdagangan maupun investasi di Indonesia. Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti dalam West Java Industrial Meeting (WJIM) 2022, ia mengatakan dari total ekspor impor, sebanyak 80-90% menggunakan mata uang Dollar Amerika. Padahal ekspor ke Amerika hanya 10% dari total nilai ekspor nasional dan impor hanya 5%. Dominasi tersebut menyebabkan ketergantungan sangat tinggi pada mata uang AS yang kini nilainya sedang tidak menentu dan cenderung terus menguat.
Tren untuk meninggalkan mata uang Dollar Amerika semakin meluas, terutama ke negara ASEAN lainnya. Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengatakan, Indonesia berusaha terus mewujudkan tema kepemimpinannya di ASEAN. Temanya adalah "ASEAN Matters: Epicentrum of Growth" yang bermakna bahwa Indonesia ingin menjadikan ASEAN tetap penting dan relevan bagi masyarakat ASEAN dan dunia. Pembahasan dalam pengurangan Dollar Amerika dilakukan pada pertemuan Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN di Bali pada 31 Maret 2023. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, penggunaan mata uang internal ASEAN bagian dari antisipasi risiko krisis. Kini, risiko krisis keuangan dan ekonomi global terus membesar. Ia juga mengatakan, jika negara-negara ASEAN dapat menggunakan mata uang lokal di kawasannya, transaksi dan semua pembayaran dapat dilakukan lebih cepat. Langkah itu juga mampu mengatasi krisis global, bahkan nilai mata uang juga akan meningkat.
Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Bank Indonesia Doddy Zulverdy juga menjelaskan bahwa penerapan LCS menunjukkan tren yang positif. Penerapan LCS dari total perdagangan Indonesia dengan Malaysia pada 2018 mencapai 1,4 persen, pada 2019 naik menjadi 3,6 persen dan pada tahun 2020 menjadi 4,1 persen. Hal ini juga terjadi dengan Thailand, di tahun 2018 LCS mencapai 0,6 persen, kemudian mengalami peningkatan menjadi 1,1 persen pada 2019 dan menjadi 1,3 persen pada 2020. Kerja sama LCS dengan Jepang, juga terjadi hal yang sama, pada tiga bulan pertama setelah kesepakatan LCS terjalin di tahun 2020 hanya mencapai 0,7 persen. Kemudian enam bulan pertama pada 2021 sudah meningkat dan mencapai 3,4 persen.
Dilansir dari laman muhammadiyah.or.id Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus pengamat ekonomi Anwar Abbas menganggap positif dan mengapresiasi kebijakan yang dilakukan Indonesia dengan menggunakan kerja sama LCS. Ia mengatakan bawah hal ini tentu jelas merupakan sebuah berita gembira bagi kita, karena kesepakatan ini akan mendorong penggunaan mata uang rupiah kita secara lebih luas untuk settlemen transaksi bilateral antara negara kita dengan negara mitra. Kemudian ia juga mengatakan karena hal tersebut selain akan sangat membantu dan mempermudah pergerakan barang dan jasa antara negara kita dengan negara-negara mitra, tapi juga akan bisa mendorong kehidupan ekonomi kita baik dalam skala makro maupun mikro untuk bisa menggeliat dengan lebih kuat dan lebih besar lagi, sehingga kita harapkan kesejahteraan ekonomi rakyat akan bisa meningkat dengan signifikan sesuai dengan yang kita harapkan.
Hadirnya kebijakan LCS adalah salah satu langkah bisa dilakukan oleh pemerintahan Indonesia dalam upaya mewujudkan perekonomian yang lebih baik dan maju lagi. Kebijakan penggunaan LCS juga dapat memudahkan transaksi terhadap negara-negara lain tanpa harus melakukan dua kali transaksi. LCS juga dimaksudkan untuk tidak terlalu bergantung pada penggunaan mata uang Dollar Amerika, karena semua negara berhak untuk bisa menggunakan mata uangnya sendiri ketika bertransaksi dengan negara lain yang bukan menggunakan mata uang Dollar Amerika di negaranya. Kebijakan LCS Pada akhirnya juga akan membantu negara dalam memelihara kestabilan nilai mata uang lokal dan tidak terpaku dengan mata uang Dollar Amerika saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H