Lihat ke Halaman Asli

Widi Admojo

Widiadmojo adalah seorang guru, tinggal di Kebumen

Jusuf Kalla dan Dongeng "Tirto Panguripan" Batara Guru

Diperbarui: 15 Oktober 2019   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menunjukkan buku berjudul “Pak Kalla Dan Presidennya” saat peluncuran buku tersebut di pameran buku Kompas Gramedia di Jakarta, Rabu (23/2). Buku karangan wartawan Kompas Wisnu Nugroho itu membahas peran dan kiprah Jusuf Kalla ketika menjabat menjadi Wakli Presiden 2004-2009. FOTO ANTARA/Prasetyo Utomo

Mengawali sebuah episode “goro-goro” dalam cerita wayang kulit, seorang dalang akan menyajikan sebuah prolog cerita atau penggambaran sebuah jagad yang mencerminkan situasi chaos, gonjang-ganjing, penuh bencana, kekeringan melanda, gempa bumi, dan kelaparan yang tiada tara yang dialami penghuni jadag dan seisinya. 

"Bumi gonjang-ganjing sedino lindu kaping pitu", bumi bergunjang satu hari gempa tujuh kali, "langit kelap-kelap" menggambarkan langit yang gelap gulita berhias petir menyambar-nyambar diiringi angin kencang dan hujan yang deras.

Seperti itulah gegambaran "goro-goro" yang sering dituturkan para dalang mengawali sebuah episode munculnya peran punokawan "semar, gareng, petruk dan bagong". 

Berhentinya "goro-goro", dalam cerita pewayangan disebut sebagai lirepnya goro-goro, manakala sang Betara Guru nyandak tirto panguripan atau mengambil air kehidupan, lalu diteteskan ke belantara bumi dan isinya.

Lalu seketika itu berhentilah suasana "chaos" dan "goro-goro" yang kemudian disusul dengan hadirnya punakawan pendowo, semar, gareng, petruk, bagong yang menari-nari gembira di atas bumi.

Jusuf Kalla, yang selalu tampil tenang, senyumnya khas, penuh wibawa, bijak, dan tidak nampak grusa-grusunya, kalau boleh sedikit saya sandingkan dengan dongeng cerita wayang di atas, bagaikan "Tirto Panguripan" pembawa kedamaian dan ketenteraman, menghentikan kegaduhan dan kekacauan.

Ia bak setetes air jernih yang menyegarkan dan menentramkan kita semua. Karena itulah kalau kita amati secara seksama, peran sebagai "pembawa misi kesejukan dan kedamaian" Jusuf Kalla selama memegang amanah sebagai seorang wakil presiden, cukup kuat dapat dirasakan dengan senantiasa tampil menampakkan wajah tenang dan percaya dirinya.

Dalam kajian budaya adiluhung di Indonesia, kemunculan seorang pemimpin bukanlah lahir atau dilahirkan dalam proses politicking. Pemimpin hadir dengan sendirinya sebagai satria pinilih, yang secara kodrati dibutuhkan hadirnya untuk berkiprah menyelesaikan persoalan kehidupan. 

Oleh karena itu bila kita amati dalam proses pemilihan kepala desa jaman dahulu, banyak orang yang melakukan tirakat tidak tidur untuk melihat di mana jatuhnya "pulung" yang pada masa itu ditandai dengan jatuhnya cahaya api di tengah gelapnya malam menjelang pemilihan.

Jusuf Kalla agaknya lebih pas bila disebut sebagai pemimpin yang lahir tidak dari ambisi politicking, tetapi ia muncul seperti "cahaya langit" yang secara kodrati telah menempatkan dirinya sebagai sosok yang harus hadir menjawab persoalan-persoalan di negeri ini. 

Kemunculannya sebagai wakil presiden baik pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono maupun pada era Presiden Joko Widodo, kalau dicermati, kadang ada di detik-detik akhir. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline