Lihat ke Halaman Asli

Widi Admojo

Widiadmojo adalah seorang guru, tinggal di Kebumen

Mutasi Guru, Solusi Setengah Hati

Diperbarui: 4 Oktober 2019   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Mendikbud Profesor Muhadjir Effendi,  belum lama ini meluncurkan kebijakan yang cukup populer yakni sistem zonasi. Diawali dengan sistem  zonasi PPDB yang sempat heboh dan memunculkan pro kontra di masyarakat, saat ini sedang terus dilaksanakan yakni rotasi guru berbasis zonasi. 

Sama dengan kebijakan zonasi pada sistem penerimaan peserta didik baru,  rotasi guru berbasis zonasi ini juga memunculkan aneka reaksi. Khususnya reaksi dari tenaga pendidik alias guru sebagai obyek yang terkena imbas kebijakan baru ini. 

Secara umum reaksi atas kebijakan ini terpilah menjadi dua bagian.  Bagian yang kurang sependapat dengan rotasi dan bagian yang memahami atau setuju - setuju saja terhadap rasionel kebijakan zonasi ini. 

Bagian yang kurang sependapat melihat kebijakan menteri ini sebagai kebijakan yang tidak terlalu signifikan terhadap dampak peningkatan kualitas pendidikan. Kecuali justru memunculkan kegelisahan dan kegundahan di kalangan pendidik karena ancaman mutasi rotasi akan berdampak pada persoalan lain yang otomatis terdampak akibat rotasi.  Dampak ekonomi, sosial, budaya,  kesejahteraan jiwa,  dan dampak lain yang bakalan muncul seiring dengan kebijakan rotasi yang menimpa dirinya. 

Performa profesionalitas pendidik bukan semata bergantung pada aspek kompetensi profesional yang terkait hanya pada material akademik dan profesionalitas kompetensi keilmuan yang dimiliki. Kondisi psikologis, motivasi,  beban emosional pendidik juga membawa dampak yang berpengaruh terhadap performa kinerja para pendidik. 

Bilamana sistem zonasi ini dalam kenyataannya berdampak pada aspek psikologis,  berdampak secara ekonomis,  serta berdampak pada aspek sosiologis,  maka kebijakan rotasi ini tidak sskedar  urusan pindah memindah tetapi kompleksitas problematika yang mengitari patut pula untuk direfleksi. 

Secara sederhana dapat diilustrasikan,  seseorang guru yang sudah uzur,  dekat dengan hari pensiunnya,  rasanya tidak elok bila disisa waktu profesionalitasnya harus dibebani pengelolaan problem penyesuaian baru,  lingkungan baru,  managemen baru,  serta bisa jadi harus pula dibebani problem penyelesaian dan penyesuaian  transportasi , ekonomi,  yang sebenarnya tidak perlu muncul andaikata kebijakan zonasi ini tidak pernah ada. 

Suasana psikologis yang dialami guru akibat zonasi tentu tidak bisa disepelekan dan dikesampingkan begitu saja karena aspek ini  juga sebenarnya  berdampak  pada performa profesionalitas pembelajaran guru.

Alih -alih bermaksud meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan bisa saja yang terjadi justru kebalikannya.  Mengusik kenyamanan yang tidak perlu sekedar untuk mempopulerkan kebijakan yang kurang mendasar tentu hanya kemudaratan dan kegaduhanlah yang muncul dipermukaan. 

Pemerataan mutu pendidikan memang bergantung pula pada pemerataan distribusi tenaga pendidik. Analogi pemerataan disini tentunya berkonotasi pemenuhan kecukupan tenaga pendidik di zonasi yang kurang mengambil tenaga pendidik berlebih di zonasi lainnya.

Asumsinya tentu tidak sama dengan mengkocok tenaga pendidik secara serampangan apalagi hanya berdasar pada alasan terlalu lama ditempat lama dan perlu dipindah ditempat baru yang sesungguhnya tidak terlalu match dengan asumsi pemerataan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline