Lihat ke Halaman Asli

Widia Devi Kumala Sari

Wanita Pembelajar

Salah satu budaya Jerman

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi buta di hari Senin, aku bergegas menuju meja makan untuk sarapan. Bangunku sepuluh menit terlambat dari biasanya. Mungkin karena capek hari sebelumnya, pertama kalinya keliling kota Trier dengan jalan kaki. Sungguh pengalaman yang sangat mengagumkan. Na ya, setelah sarapan aku pun segera bersih-bersih diri. Setelahnya lagi sungguh mengejutkan. Aku diajak ayah si kecil untuk mengurus perpanjangan visa. Tahukah mengurusnya dimana? Yup di kota Trier. Jadi pagi ini kami akan kesana. Yuhuu belum 24 jam aku meninggalkan Trier dengan indahnya menikmati peninggalan bangunan romawi dengan melihat Porta Nigra dan sekarang harus kesana lagi. Akvitas yang bagus.

Pagi itu tepat pukul 08.30 kami berangkat ke Trier naik mobil. Jarak kota kecil tersebut dengan rumah tempat aku tinggal sekitar 25km. Dan itu bisa ditempuh dengan 30 menit perjalanan. Ya lumayan dekat sih menurutku. Sambil mendengar lagu bahasa Inggris dari siaran langsung di radio dan juga menikmati indahnya sungai Mosel yang juga memanjang searah dengan jalur kendaraan, akhirnya 30 menit pun berlalu.

Kami sampai di kota Trier pukul 09.00 pagi. Sayangnya kali itu tempat parkir sudah penuh di depan instansi pemerintah tersebut. Akhirnya kami pun parkir lumayan jauh. Iya mungkin 3 menit dengan jalan kaki. Jalan kaki cepat lebih tepatnya. Ayah si kecil kalau jalan busyet cepat amat. Aku kan gak punya kaki panjang, postur tubuh juga gak tinggi, ditambah badan langsing, haha gak sanggup kalau jalan seperti angin.

Kalau boleh milih nih, mending jalan jauh tapi pelan-pelan dan santai dari pada jalan jarak pendek tapi lebih cepat sampai nafas ngos-ngos an. Hahaha ya memang inilah salah satu budaya Jerman. Jalan kaki selalu cepat, entah ada ataupun tidak ada jadwal. Semuanya pada berkecepatan tinggi.

Sampai di depan gedung, kami masuk dan menunggu sebentar. Konon katanya, dengar-dengar juga daribeberapa teman, petugas pengurus visa itu pada killer. Bisa membayangkan wajah killer? Nah itu, raut muka anti senyum dan cara bicaranya pun memerintah. Aku paling anti dengan orang yang demikian. Sudah pernah mengalami soalnya waktu di Indonesia. Petugas vi** di kedutaan contohnya. Wuih sama sekali gak ramah.

Padahal mereka kan digaji, masa‘ untuk melayani masyarakat harus bersikap demikian. Alangkah lebih baik kalau kita bisa menempatkan sikap kita dengan tepat. Tegas di ruang yang memang harus tegas, dan sebaliknya. Gak semua harus dipukul rata, harus dipelototin, dibentak-bentak, dsb. Toh sama-sama manusianya, bukan Tuhan. Huhuhu jadi sedikit curhat.

Balik lagi mengurus perpanjangan visa untuk ijin tinggal setahun di Jerman. Ternyata bayanganku tentang petugas killer disini sama sekali tidak muncul. Petugasnya ramah banget walaupun tampilannya sedikit garang. Kok tumben juga, haha.

Aku pun dipersilahkan duduk di depan mesin pendeteksi cap jari. Beberapa diajukan pertanyaan. Setelahnya disuruh cap jari telunjuk kanan dan kiri. Lalu diminta untuk tanda tangan. Pembayaran administrasi perpanjangan sekitar 100 euro. Dan satu jam berlalu artinya pengurusan tersebut sudah selesai. Alhamdulillah alles in Ordnung.

Kami pun balik ke tempat parkir dan berjalan lagi di zona pejalan kaki. Kami mampir dulu ke sebuah gedung dimana aku akan kursus nantinya. Gedung tersebut sangat dekat dengan Dom dan Liebfrauenkirche seperti cerita sebelumnya di sini.

Lanjut kami menuju apotek untuk membeli plaster, menuju toko roti, dan juga langsung menuju di tempat parkir. Di perjalanan menuju parkir mobil, kali ini berjalanku sudah gak kuat kalau ingin bersamaan dengan ayah si kecil. Nafasku sudah ngos-ngos an parah sembari kena hembusan dinginnya udara luar. Aku pun selalu berjalan di belakang dan tertinggal, ayah si kecil sesekali menengok kebelakang. Mungkin ia takut aku hilang haha.

Kami lanjut pulang dan aku baru sadar kalau arah berangkat sama arah pulang berbeda. Ternyata pulangnya kami lewat (Luxemburg Straße/ jalan Luxemburg). Hahahaha akhirnya aku menginjak juga di negara Luxemburg. Banyak papan nama yang berbahasa Prancis di sepanjang jalan tersebut dan kawasannya relativ bersih seperti negara Jerman. Huhuhu manis sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline