Lihat ke Halaman Asli

Kemping Sendirian: Not Bad, but Unique

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1416106374734180440

[caption id="attachment_375799" align="alignnone" width="787" caption="Aku dan kesendirian (Foto: Pribadi)"][/caption]

Dalam hati setiap orang, ada hasrat untuk bertualang. Sejurus itu, jalan kehidupan pun acap digambarkan sebagai petualangan panjang sedari dalam kandungan hingga masuk ke liang lahat. Setiap jejaknya menjanjikan segunung pengalaman dan sejarah yang selalu menarik dicatat ataupun diceritakan kembali berulang-ulang.

Adalah petualangan saya ke Curug Nangka, di kaki Gunung Salak, Bogor, yang meninggalkan catatan menarik. Bukan cerita tentang keindahan Curug Nangka, air terjun yang bertetangga dengan Curug Daun dan Curug Kawung. Juga bukan soal tingkah laku monyet yang menghuni pepohonan di sana. Ini cerita pengalaman pertama saya kemping sendirian, ya, sendirian beneran di dalam tenda.

Tidak sedikit orang berkomentar dengan nada tanya,"apa enaknya kemping sendiri?". Ada pula komentar yang melecehkan,"itu mah orang kurang kerjaan." Pendek kata, tidak seorangpun yang melontarkan pendapat bersahabat, hingga seolah mereka lupa bahwa keramaian kadang kala menjenuhkan. Lupa bahwa selama petualangan hidup, mereka ada kalanya mereka butuh kesendirian.

Apapun pendapat orang, kemping sendirian ternyata menjanjikan sensasi dan keasyikan tersendiri. Sensasi mendengarkan nyanyian binatang malam yang menghuni rimba liar, menghadirkan harmoni alami yang tak mungkin bisa kita dengar di kota. Pun sebuah keasyikan khas saat semua tergantung kepada keputusan diri kita untuk menjalaninya atau tidak. Saat itulah nutrisi bathin meresap ke dalam jiwa untuk menahkodai kita dalam memutuskan setiap langkah.

Toh, tak hanya raga yang butuh istirahat, tetapi jiwa pun butuh nutrisi spesial. Itu akan sangat mudah didapat dengan kita menjauhkan diri dari segala bentuk rutinitas dan melewati kehidupan dalam kesendirian. Kemping sendirian mengajarkan saya begitu banyak hal:

Pertama, kesabaran pada jalan kehidupan secara alamiah dalam keterbatasan dan ketidaksempurnaan yang nyata. Kedua, tentang ketegaran dan kegigihan menghadapi segala bentu masalah yang muncul secara natural dari proses duniawi, seperti dinginnya malam selepas hujan deras yang mengigilkan badan. Atau, penguasaan hati dan pikiran dengan segala prasangka butanya yang bisa menyesatkan.

Ketiga, tentang kedekatan yang sangat dibutuhkan setiap manusia pada Sang Khalik yang mensabdakan eksisteninya hadir di dunia. Kemping sendirian menjanjikan keintiman apa adanya yang unik dengan Robb kita, hingga akan menarik mundur kita ke dalam semua petualangan hidup di masa sebelumnya hingga melempar ketajaman bathin kita akan kehidupan di depan yang belum nyata.

Cukup tiga pengajaran itu saja yang ingin saya bagi, sedangkan selebihnya tidak bisa diungkapkan secara verbal maupun tekstual kecuali dengan hanya merasakannya atau menjalani petualangannya. Percayalah bahwa malam tak selamanya sunyi. Kalaupun ada kesunyian tak jua selalu berarti mematikan.

Bukankah Tuhan kita, Allah SWT, tidak menyukai tangan kiri tahu ketika tangan kanan memberi? Bukankah ketika berpuasa hanyalah Tuhan dan kita sendiri yang tahu? Bukankah dalam kesendirian kita diajarkan menjadi sahabat terbaik bagi diri sendiri, memimpin diri sendiri dan memutuskan segalanya sendiri? Dan... bukankan kesendirian menyadarkan kita bahwa Allah benar-benar nyata dan dirasa eksistensi keghaibannya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline