Lihat ke Halaman Asli

Widhi Wedhaswara

Wakil Ketua DPP Hanura bidang Seni dan Budaya

Spiritual Awakening, Mati Sebelum Mati Ala Jawa

Diperbarui: 19 November 2024   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Konsep spiritual awakening atau pencerahan spiritual sering kali dikaitkan dengan pengalaman yang mendalam, seolah-olah membuka mata seseorang terhadap kebenaran yang lebih besar. Namun, dalam kajian sosial-budaya dan psikologi, kita bisa melihat spiritual awakening bukan hanya sebagai pengalaman individual, tetapi juga sebagai proses yang sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya di sekitar individu. Sebagai contoh, dalam tradisi Jawa, banyak ungkapan dan filosofi hidup yang mencerminkan perjalanan ini. Kalimat-kalimat tersebut bukan hanya mengandung nilai moral atau ajaran hidup, tetapi juga mencerminkan pandangan dunia yang memadukan kehidupan fisik dengan spiritualitas.

1. Makna "Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Mati" dalam Kehidupan Sehari-hari

Kalimat ini bisa dipahami sebagai ungkapan tentang kesadaran akan keterbatasan hidup dan pentingnya menjalani hidup dengan penuh makna, meski kita tahu bahwa kematian adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan. Dalam kajian sosial-budaya, ungkapan ini menunjukkan bagaimana budaya Jawa mengajarkan keseimbangan antara kehidupan duniawi dan spiritual. Dalam konteks spiritual awakening, kita dapat melihat bahwa "mati dalam hidup" bukan berarti kematian fisik, tetapi kematian ego dan keinginan-keinginan duniawi yang tidak perlu. Proses spiritual ini mengajarkan kita untuk membebaskan diri dari ikatan duniawi yang tidak membawa kedamaian batin. Secara psikologis, ini mencerminkan proses individu untuk melepaskan diri dari kecemasan tentang kematian, dan lebih fokus pada kualitas hidup dan pencapaian makna melalui pengalaman sehari-hari (Yalom, 2008).

2. "Topo Tengah Pasar" dan Kesadaran dalam Kehidupan Modern

"Topo tengah pasar" atau "bertapa di tengah pasar" mengandung makna yang mendalam dalam konteks spiritual awakening. Filosofi ini mengajarkan kita untuk tetap menjaga ketenangan batin meskipun kita hidup di dunia yang penuh dengan gangguan dan tantangan. Dalam kajian psikologi sosial, hal ini berkaitan dengan konsep mindfulness atau kesadaran penuh yang diajarkan oleh berbagai tradisi spiritual. Mindfulness mengajarkan kita untuk tetap hadir dan sadar dalam setiap momen, meskipun kita terjebak dalam rutinitas atau keramaian hidup. Sebagai contoh, penelitian oleh Kabat-Zinn (1990) menunjukkan bahwa praktik mindfulness dapat membantu individu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental.

3. "Manunggaling Kawulo Gusti" dalam Perspektif Psikologi Humanistik

"Manunggaling Kawulo Gusti" yang berarti "persatuan antara hamba dan Tuhan" adalah inti dari banyak ajaran spiritual. Dalam psikologi humanistik, ini mencerminkan pencarian individu untuk mencapai self-actualization atau aktualisasi diri, yaitu kondisi di mana seseorang hidup selaras dengan potensi dan tujuan hidupnya yang sejati (Maslow, 1943). Dalam konteks ini, spiritual awakening mengajak individu untuk mengatasi perasaan keterpisahan dan menyadari bahwa mereka terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, entah itu Tuhan, alam semesta, atau seluruh umat manusia.

4. "Sangkan Paraning Dumadi" dan Eksistensialisme

"Sangkan Paraning Dumadi," yang berarti "asal mula dan tujuan hidup," adalah sebuah ajakan untuk mencari makna yang lebih dalam dari kehidupan kita. Dalam kajian psikologi eksistensialis, seperti yang dijelaskan oleh Viktor Frankl (1946), pencarian makna hidup adalah inti dari keberadaan manusia. Frankl menyatakan bahwa meskipun hidup penuh dengan penderitaan dan tantangan, individu dapat menemukan makna yang mendalam dalam hidup mereka dengan berfokus pada tujuan yang lebih tinggi. "Sangkan Paraning Dumadi" mengajarkan kita untuk tidak hanya mempertanyakan dari mana kita berasal, tetapi juga untuk memahami tujuan lebih besar yang ingin kita capai dalam hidup.

5. "Urip Iku Urup" dan Pengembangan Diri

"Urip iku urup" atau "hidup itu adalah cahaya" mengandung pesan bahwa hidup yang sejati adalah hidup yang memberi manfaat dan menjadi sumber kebaikan bagi orang lain. Filosofi ini mengajarkan bahwa pencerahan bukanlah tujuan egois semata, melainkan tentang bagaimana kita dapat membawa perubahan positif dalam masyarakat. Dalam psikologi sosial, ini berhubungan dengan konsep altruisme dan kontribusi terhadap kesejahteraan bersama. Individu yang mencapai pencerahan spiritual cenderung merasa lebih terhubung dengan sesama, dan ini meningkatkan rasa makna dalam hidup mereka (Seligman, 2011).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline