"Saya ini anaknya guru. Apa pekerjaan bapak saya? Tidak berhenti-henti, mengajar membaca dan menulis. Lantas sayapun mendapat didikan dari Bapak mula-mula membaca dan menulis. Ayo Karno! Hafalno iki, ha-na-tja-ra-ka-da-ta-sa- terus, terus. Hayo Karno hafalno iki! A-B-C-D-E-F sampai puyeng kepala. Kemudian hayo Karno hafalno iki, hayo Karno hafalno iku. Akhirnya lho, kok ya dadi uwong aku iki."
Sukarno sejak kecil sudah di-gembleng untuk membaca oleh ayahnya, Raden Sukemi Sosrodiharjo yang bekerja sebagai guru sekolah dasar. Ia adalah 'guru' pertama Sukarno sebelum menempuh pendidikan formal. Ketika memasuki sekolah mulai di Mojokerto (sekolah di tempat sang ayah bekerja), Europeesche Lagere School (ELS), Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya hingga menempuh perguruan tinggi Technische Hooge School (THS) di Bandung, Sukarno sangat gemar membaca. Dalam otobiografinya Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat ia menjelaskan:
"Seluruh waktu kugunakan untuk membaca. Sementara yang lain-lain bermain-main, aku belajar. Aku mengejar ilmu pengetahuan di samping pelajaran sekolah."
"Kenyataan-kenyataan yang kulihat dalam duniaku yang gelap hanyalah kehampaan dan kemelaratan. Karena itu aku mengundurkan diri ke dalam apa yang dinamakan orang Inggris: 'Dunia Pemikiran'. Buku-buku menjadi temanku."
Kondisi Pendidikan Awal Kemerdekaan
Usaha pemberantasan buta huruf telah diusahakan sejak awal kemerdekaan. Usaha ini tentu saja masuk dalam program Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K). Akan tetapi pada masa awal kemerdekaan kondisi Pendidikan di Indonesia tidak banyak perbaikan dan pembaruan. Kondisi politik dan keamanan yang masih belum stabil menjadi penyebabnya. Pergantian kabinet yang singkat membuat Menteri PP dan K menjabat hanya dalam hitungan bulan. Tentu saja hal ini membuat program pendidikan yang salah satunya adalah pengentasan buta huruf di Indonesia menjadi terhambat.
Menurut Anwar Jasin dalam Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Perang Kemerdekaan (1987), usaha nyata perbaikan pendidikan diawali dengan adanya usulan dari Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) kepada Kementerian PP dan K pada 29 Desember 1945. Usulan tersebut berisi tentang perlunya disusun pedoman pendidikan dan pengajaran baru yang sesuai dengan dasar negara RI, dan yang menjadikannya sebagai alat sebesar-besarnya untuk pembangunan negara.
Atas dasar usulan itu kemudian dibentuk panitia yang diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara. Panita ini terdiri atas Komisi Pekerja dan Komisi Penyelidik. Komisi Pekerja bertugas menyusun rencana pengajaran menurut tingkat dan jenis sekolah. Sementara Komisi Penyelidik bertugas untuk membahas garis-garis besar dasar dan asas pendidikan dan pengajaran. Salah satu masalah yang dibahas dalam Komisi Penyelidik ini yaitu tentang kewajiban belajar dan pemberantasan buta huruf.
Di Tengah Keterbatasan