Lihat ke Halaman Asli

Air dan Kucing

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Minggu pagi.. Aku ingin sekali bermalas-malasan di hari minggu. Aku ingin dan aku bisa. Tapi tidak di pagi hari.
Pagi hari, lebih tepatnya pagi buta adalah waktuku beraktifitas yang berurusan dengan air.

Kenapa? Karena di desa (kampung) sepertiku, masih belum terjamah PDAM dan masih harus mengelola air bersih sendiri (bagi yang tidak ingin menggunakan air bekas irigasi). Air bersih ini didapat dari mata air pegunungan asli. Karena aku memang tinggal di daerah pegunungan.

Tapi celakanya, mungkin karena kaur air di desaku kurang tahu, tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu sehingga menyepelekan soal urusan teknis manajemen air, maka kacaulah pembagian porsi air untuk masing-masing KK.

Ada yang deras, tapi bahkan ada pula yg besarnya aliran cuma sederas orang kencing.

Sudah begitu, masih ditambah pula dengan permasalahan sabotase air di sana-sini. Dari mulai instalasi ilegal, sampai penyumbatan dengan sengaja aliran tetangganya demi kepentingan agar air di rumahnya deras.

Maka jadilah permasalahan air ini pemicu perselisihan dan perang dingin antar tetangga.

Tidak jarang kedinginan itu meningkat tensinya menjadi perang mulut (baca=perang gertakan) yang bagiku itu adalah hal bodoh yang sia-sia.

Aku lebih memilih mengalah. Lebih baik kecean (bermain air) di pagi buta. Karena jika hari sudah menginjak siang, aku benar-benar tidak kebagian jatah air karena air yang mengalir ke rumahku sudah kalah dan dicegat di rumah-rumah sebelumku.

Sejak kaur airku beserta para dewan staff-nya mengundurkan diri, lepas tangan. Entah karena menyadari ketidakbecusannya, entah karena memang sudah tidak mampu mengendalikan kebebalan warganya, atau entah karena lari dari tanggung jawab.

Aku tidak peduli. Aku pasrah. Aku masih bersyukur, meskipun harus berbasah-basahan di pagi buta.

Ya, aku sangat bersyukur.

Berapa banyak saudara kita setanah air yang harus rela antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan segalon air, yang mungkin hanya cukup untuk memasak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline