Lihat ke Halaman Asli

From Minus to Zero (Hope Infinite)

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Minus, suatu skala yang menunjukkan titik dibawah nol. Dapat diartikan sebagai kemunduran, decrease, flowback, surmin, dan entah berapa banyak lagi istilah serupa lainnya.

***

Setidaknya, seperti itulah kondisiku, sebelum keberanianku muncul. Kepercayaan diriku tumbuh. Lewat menulis. Sebelum menekuni dunia kepenulisan, semua ide hanya menjadi letupan-letupan yang kemudian pecah tak tersalurkan. Embrio-embrio kreativitas itu harus mati, tanpa pernah dilahirkan. Segala hal yang kubaca, kudengar, kulihat, kurasa, hanya menjadi endapan-endapan yang bercampur-aduk tak karuan, lalu menguap oleh panasnya zaman.

***

Adalah Pramoedya Ananta Toer, yang dalam suatu riwayatnya, yang pernah kubaca. Ketika itu, Beliau, dalam hari-hari terakhirnya, dengan kondisi tubuh sama sekali tak memiliki daya, kepada setiap kaum muda yang mengunjunginya, pesan singkatnya, "Menulislah... Meskipun satu hari hanya satu tulisan". Kemudian pada akhir artikel tersebut, dikutiplah pernyataan Pak Pram yang begitu ‘fenomenal', dan telah menjadi manifesto seluruh penulis, setidaknya yang mengagumi karya-karya Beliau. "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama dia tidak menulis, dia akan hilang dari sejarah dan peradaban. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Aku memang bukan orang yang mengenal Beliau secara langsung. Bahkan, satu-satunya bukunya yang kupunya belum pernah sempat kubaca. Tapi, kalimat tersebut begitu dahsyat. Roh, semangat, dan jiwa menulis Beliau termanifestasi secara sempurna, sebagai ajakan yang menusuk pusat kesadaran. Aku tergerak...

***

Jika kulihat lagi ke belakang. Ketika aku tertatih-tatih, memulai menulis dalam blog pribadiku (baca: SmallWorld) menuliskan paragraf sungguh bukan pekerjaan mudah, dan cukup membuat alisku berkerut karena dipaksa bekerja keras. Kumulai menulis dengan main track: "Aku menulis karena aku ingin menulis". Sedikit demi sedikit, karakter kutingkatkan, paragraf kukembangkan. Satu demi satu tulisan kuhasilkan, mulai dari yang wagu, sampai akhirnya 'layak' untuk dicerna.

***

Sebuah kegembiraan tak terkira, ketika salah satu tulisaku yang kukirimkan, berhasil dimuat di sebuah media. Puji syukur kuucapkan, sebagai benteng agar tak terbuai dalam kepongahan. Karena sejatinya, itu baru titik awal. Titik awal sebagai tanda bahwa aku berada dalam 'jalur yang benar' dan sekaligus untuk memotivasi agar terus menulis. Dari media itu pula, aku berkenalan dengan 'senior' disana. Berbagi pengalaman, dan mendapat ‘wejangan' agar dalam menulis, menulislah untuk satu tujuan. 'Menulis on purpose'. (Terima kasih mas Bahtiar HS untuk waktu dan nasihatnya, insya Allah itu semua takkan sia-sia.)

***

Kini, meski tak satupun tulisanku yang dipublikasikan media (lagi), aku tak ambil pusing. Popularitas dan pengakuan hanya akan mencemarkan ‘ketulusanku' bahwa menulisku adalah 'kebebasanku'. Aku tak mampu dan lihai (bahkan buruk) dalam bahasa tubuh, wajah, maupun lisan. Maka, dari tulisanlah aku merasa 'hidup'. Hanya dalam tulisanlah, kudapatkan 'kebebasan'. Kebebasan yang tak dapat kusalurkan karena keterbatasan kemampuan lingualku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline