Lihat ke Halaman Asli

WIDHIAS HAFIZ

Saya Widhiashafiz, Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2020.

Intoleran Peneliti BRIN, Toleransi Harus Diperkuat oleh Pemerintah

Diperbarui: 8 Mei 2023   10:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Canva.com

Kejutan pasca bulan suci Ramadhan yang dilakukan oleh Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangeran Hasanuddin (APH) terkait dengan ancaman pembunuhan kepada warga persyarikatan Muhammadiyah. Hal itu, membuat para politisi mendesak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk dapat menangkap dan mengusut tuntas komentar yang diunggah di sosial media APH.

Komentar tersebut merupakan komentar ujaran kebencian terhadap Muhammadiyah karena permasalahan perbedaan penetapan 1 Syawal atau hari raya Idul Fitri. Berawal dari banyaknya Statement tendensius yang dikeluarkan oleh Thomas Djamaluddin (TD) yang secara tidak langsung menyerang Muhammadiyah karena tidak sepakat dengan perbedaan penetapan tersebut. Dalam komentarnya, TD mengeluarkan tendensi tentang warga Muhammadiyah yang berbeda penetapan-nya dan meminta difasilitasi oleh negara terkait fasilitas pemerintahan untuk sholat Idul Fitri. Kemudian, APH mengeluarkan statement yang menganggap bahwa darah warga Muhammadiyah halal alias boleh dibunuh. Tentu saja, ini merupakan sebuah ketidaketisan atau tindak intoleran yang dilakukan oleh Peneliti lembaga negara atau BRIN.

Dalam perkembangannya, Aktivis Angkatan Muda Muhammadiyah dari berbagai daerah telah berbondong-bondong melaporkan peneliti BRIN tersebut kepada pihak kepolisian. Dan, perkembangan sampai akhir ini APH telah ditangkap dan dibawa Bareskrim Polri ke Jakarta, sebelumnya ditangkap di Jombang, Jawa Timur. Proses hukum yang berlaku di Indonesia sedang telah dijalankan, setelah BRIN juga sudah memberhentikan APH sebagai peneliti BRIN. Tentu karena proses hukum dan desakan dari banyak warga persyarikatan Muhammadiyah serta politisi yang mendukung.

Dari kejadian tersebut, pemerintah harus mengevaluasi sebagai institusi yang menaungi lembaga negara atau BRIN. Tentu tidak pantas seorang akademisi atau peneliti berkata kasar atau yang tidak senonoh, apalagi terlihat oleh jutaan masyarakat Indonesia di Media Sosial. Tindakan atau sikap yang diambil merupakan tindak intoleran yang sama sekali tidak dibenarkan dan sampai kapanpun dilarang hukumnya.

Evaluasi tentu mengarah pada seleksi Peneliti BRIN yang harus fokus pada tugasnya untuk menjadi lembaga inovasi negara. Senada dengan itu, Ari Harahap yang merupakan ketua umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DKI Jakarta berpendapat dalam acara catatan demokrasi yang ditayangkan di TV ONE, bahwa penting untuk negara mengevaluasi dan jangan sampai ada lagi peneliti atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bersikap intoleran. Apabila terjadi hal serupa pada BRIN atau lembaga negara lainnya, bisa saja masyarakat akan turun kepercayaannya karena lembaga tersebut tidak lurus pada jalur yang seharusnya menjadi lembaga riset maupun inovasi, untuk kemajuan negara.

Seorang peneliti sekelas BRIN seharusnya bisa mengintegrasikan atau gradasi keilmuan, bukan menjadikan keilmuan terdegradasi yang menghasilkan ujaran kebencian. Hal itu, akan berdampak pada kerusakan sosial keagamaan. Peneliti juga harus menunjukkan kemampuan sebagai bagian dari akademisi yang cerdas dan tidak boleh menciptakan unsur kebencian dan permusuhan dengan tindak kekerasan fisik maupun verbal.

Penting bagi pemerintah atau negara mengawasi lembaga-lembaga negara untuk tetap fokus pada tugas sebagai penyempurna kemajuan bangsa dan negara. Lembaga negara harus bisa menjamin integritas daripada pegawainya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan pelatihan dan pendidikan yang berfokus memupuk rasa toleransi, khususnya dalam beragama. Pentingnya menjunjung tinggi rasa hak asasi manusia. Tidak jarang untuk pemerintah atau lembaga pemerintah untuk melakukan pengawasan dan evaluasi yang teratur. Melihat kejadian tersebut berarti penting untuk melakukan pengawasan terhadap semua media sosial pegawai negara atau ASN.

Sebagai lembaga negara yang harus patuh pada konstitusi, semestinya bisa menjaga marwah lembaga agar tetap lurus dan tidak tendensius pada salah satu kelompok. BRIN dalam hal ini wajib untuk bersikap toleransi dan tetap fokus pada pengembangan atau inovasi untuk negara. Lakukan dengan tegas, transparansi, dan akuntabilitas untuk bisa mencegah dan menghadapi intoleransi. Lembaga harus bisa profesional dalam merekrut anggota arau peneliti supaya menjadi lembaga yang maju dan bertanggung jawab.

Tidak pantas jika ada seorang peneliti atau ASN tendensius atau sampai bersikap diskriminasi atau mengancam karena tidak sepakat dengan pendapat di pemerintahan. Perbedaan pendapat bahkan sudah sedari awal diamanatkan dalam konstitusi negara, karena kita sebagai negara yang majemuk.

Perbedaan kepercayaan bukan hanya pada tatanan Agama, perbedaan itu juga senantiasa terjadi pada sekrup yang lebih dalam atau banyak kelompok kepercayaan dalam agama itu sendiri. Bukankah itu semua dilindungi oleh konstitusi negara? atau apakah kelompok yang berbeda tidak lebih kuat dari kelompok lain?. Tentu pertanyaan ini muncul sebagai kritik karena ada kasus tersebut.

Perlawanan terhadap tindak intoleran sangat penting dan harus bisa mempromosikan sikap yang inklusif, saling menghormati, dan terbuka terhadap perbedaan. Pendidikan, kesadaran, dialog, dan penggalangan dukungan untuk prinsip-prinsip kemanusiaan universal dapat membantu mengatasi tindakan intoleran dan membangun masyarakat yang lebih toleran dan berdampingan secara damai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline