Lihat ke Halaman Asli

WIDHIAS HAFIZ

Saya Widhiashafiz, Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2020.

Konflik Identitas atau Kepentingan Politik Luar Negeri? Studi Kasus: Sunni-Syiah

Diperbarui: 8 Mei 2023   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Linkedin berasal dari website https://artikel.rumah123.com

Konflik Sunni-Syiah sampai hari ini masih terus hangat diperbincangkan. Terdapat Instrumentalisasi Identitas yang mengacu pada penggunaan identitas agama atau etnis sebagai alat untuk mencapai tujuan politik atau kekuasaan. Dalam konteks Sunni vs Syiah, terjadi persaingan politik dan konflik di antara kedua kelompok, dan terkadang identitas agama digunakan sebagai alat untuk memperkuat posisi masing-masing. 

Maksud dari "identitas agama telah diinstrumentalisasi" adalah bahwa kelompok-kelompok politik atau aktor-aktor lain di wilayah Timur Tengah telah menggunakan perbedaan agama antara Sunni dan Syiah untuk mencapai tujuan politik mereka. Dalam hal ini, identitas agama digunakan sebagai alat untuk memobilisasi dukungan politik dan militer, serta untuk membenarkan tindakan kekerasan dan terorisme.

Misalnya, beberapa negara seperti Arab Saudi dan Iran telah memanfaatkan konflik Sunni vs Syiah untuk memperkuat pengaruh mereka dan melindungi kepentingan mereka di dalam dan di luar negeri. Mereka mungkin mendukung kelompok-kelompok agama yang sejalan dengan pandangan mereka atau bahkan memberikan dukungan finansial dan militer untuk kelompok-kelompok tersebut. Selain itu, beberapa kelompok militan dan teroris juga telah menggunakan perbedaan agama sebagai pembenaran untuk melakukan serangan dan kekerasan, baik terhadap musuh mereka maupun terhadap kelompok-kelompok Sunni atau Syiah yang dianggap tidak sejalan dengan pandangan mereka.

Dalam konteks ini, "identitas agama diinstrumentalisasi" berarti bahwa perbedaan agama telah digunakan sebagai sumber kekuatan dan solidaritas dalam persaingan politik dan konflik di Timur Tengah, dan bahwa ini telah menyebabkan ketegangan, konflik, dan kekerasan di wilayah tersebut.

Konflik Sunni vs Syiah telah menjadi salah satu aspek penting dalam dinamika politik di Timur Tengah. Fawcett mengatakan bahwa identitas agama telah diinstrumentalisasi oleh kelompok-kelompok politik di wilayah tersebut, termasuk oleh negara-negara besar seperti Arab Saudi dan Iran, untuk memperkuat pengaruh mereka dan mengamankan kepentingan mereka di dalam dan di luar negeri. Fawcett juga mencatat bahwa identitas Sunni dan Syiah telah digunakan untuk memobilisasi dukungan politik dan militer, serta untuk membenarkan tindakan kekerasan dan terorisme. 

Selain itu, dia juga menyebutkan bahwa konflik Sunni vs Syiah telah memengaruhi hubungan internasional di wilayah tersebut, dan bahkan menjadi salah satu faktor yang memperumit upaya perdamaian di beberapa konflik di Timur Tengah.

Secara keseluruhan, instrumentalisasi identitas agama menjadi sebuah ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan di Timur Tengah dan negara-negara di sekitarnya. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk meredakan konflik antara Sunni dan Syiah, dan mengefektifkan cara-cara damai dan inklusif dalam menyelesaikan perbedaan dan perselisihan politik. Upaya-upaya untuk meredakan konflik antara Sunni dan Syiah meliputi pendekatan diplomatik, dialog antaragama, dan dukungan untuk pembangunan masyarakat yang inklusif. Dalam hal ini, negara-negara di Timur Tengah dan aktor internasional perlu bersatu untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut.

Selain itu, perlu juga adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Hal ini dapat membantu mendorong inklusivitas dan mengurangi konflik yang muncul karena perbedaan agama dan etnis. Namun, upaya ini harus diimbangi dengan kesadaran dan pemahaman yang lebih baik tentang akar konflik Sunni vs Syiah. Hal ini melibatkan pengakuan bahwa perbedaan agama tidak harus selalu menjadi sumber konflik, dan bahwa identitas agama dapat digunakan sebagai sumber kekuatan dan solidaritas dalam upaya untuk membangun perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah.

Dalam hal ini, masyarakat sipil, termasuk kelompok-kelompok agama dan pemimpin komunitas, dapat berperan sebagai penghubung dan fasilitator dialog yang mempromosikan inklusivitas dan kerukunan antaragama. Dalam hal ini, kesadaran akan pentingnya perdamaian dan toleransi menjadi kunci untuk mengatasi konflik identitas agama di Timur Tengah dan dunia yang lebih luas.

Fawcett Louise dalam buku International Relations of the Middle East menjelaskan, bahwa perbedaan pandangan antara Sunni dan Syiah dalam memahami siapa yang berhak memimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad telah menjadi sumber ketegangan dan konflik antara kedua kelompok. Selain itu, Fawcett juga menjelaskan bahwa konflik Sunni vs Syiah telah diinstrumentalisasi oleh negara-negara besar seperti Arab Saudi dan Iran untuk memperkuat pengaruh mereka di wilayah tersebut dan di luar negeri. 

Fawcett juga menekankan bahwa identitas agama Sunni vs Syiah bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi dinamika politik di Timur Tengah. Ada faktor-faktor lain seperti etnis, kebangsaan, dan kelas sosial yang juga memainkan peran penting dalam membentuk identitas dan kepentingan politik di wilayah tersebut. Namun, Fawcett mengakui bahwa perbedaan agama antara Sunni dan Syiah telah menjadi salah satu sumber ketegangan dan konflik yang paling kuat di wilayah tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline