Kalau kita amati saat ini, di ruang publik kita, bahasa Indonesia belum sepenuhnya menjadi bahasa utama. Papan iklan yang bertebaran di tepi jalan, spanduk-spanduk, iklan di televisi banyak yang justru menggunakan bahasa asing, atau mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Nama-nama perumahan, apartemen juga banyak yang menggunakan bahasa asing. Sepertinya ada kebanggaan untuk memberi nama perumahan atau apartemen dalam bahasa asing. Kita sering menjumpai nama-nama perumahan dengan menggunakan kata 'village', 'residence', 'town house', 'apartment', dan lain-lain. Dalam suatu acara kita sering menemui kata-kata 'gathering', 'meet up', 'sharing', dan lain sebagainya.
Di media sosial, penggunaan bahasa Indonesia juga sering bercampur baur dengan bahasa asing. Masyarakat banyak yang abai dengan penggunaan bahasa Indonesia yang benar di media sosial. Apalagi jika kita melihat bagaimana bahasa Indonesia digunakan dalam percakapan sehari-hari, terutama di perkotaan. Menggunakan kosa kata bahasa asing dianggap lebih berkelas dibandingkan padanannya dalam bahasa Indonesia.
Dalam sebuah diskusi kebahasaan, Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Gufran Ali Ibrahim mengatakan pengutamaan pemakaian bahasa Indonesia di ruang publik harus didukung semua pihak, agar bahasa Indonesia menjadi bahasa nomor satu di ruang publik. Menurutnya, bahasa Indonesia adalah milik seluruh bangsa Indonesia, jadi harus bangga menggunakannya.
Hal ini adalah perintah undang-undang dengan semangat mengutamakan bahasa negara di ruang publik, kata Gufran Ali Ibrahim dalam acara bincang-bincang kebangsaan dalam perspektif kebahasaan dan kesastraan, di kantor Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (21/10).
Gufran mengatakan, Ia sering kali menemukan pengabaian pemakaian bahasa Indonesia di ruang publik. Hal ini membuat bahasa negara dinomorduakan. Menurutnya, pengutamaan bukan berarti melepaskan bahasa asing. Penggunaan bahasa asing tetap dibolehkan, tetapi harus mengutamakan bahasa Indonesia terlebih dahulu.
Dari segi peraturan sebenarnya payung hukum penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi sudah komplit. Yang terbaru yaitu Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 yang diteken Jokowi pada 30 September 2019 yang lalu, dan diundangkan pada hari yang sama. Perpres 63/2019 ini merupakan aturan lebih lanjut dari UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Menurut Gufran, setelah terbitnya Perpres tersebut, akan ada langkah-langkah berikutnya yaitu penyusunan NSPK (norma, standar, prosedur, dan kriteria). NSPK tersebut merupakan aturan turunan untuk memastikan pelaksanaan pengawasan penggunaan bahasa Indonesia terutama di ruang publik bisa dilakukan.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Amzulian Rifai, mengingatkan dengan sudah berjalannya undang-undang tersebut selama 10 tahun, Pemerintah dan seluruh pihak seharusnya lebih bekerja keras. Pemerintah dengan semua pihak harus lebih bekerja keras, Komitmen itu harus dimiliki Pemerintah di semua tingkatan baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kota hingga tingkat kecamatan agar undang-undang ini tidak sekedar tertulis saja, tetapi diterapkan.
Mantan anggota DPR RI Popong Otje Djundjunan mengutarakan keprihatinannya tentang masih ada pejabat yang menyisipkan bahasa asing di beberapa kesempatan, seperti rapat dengan DPR RI, dan penggunaan bahasa asing di ruang publik. Pelanggaran ini bukan untuk disesali tetapi untuk introspeksi, dan diperbaiki, pesan Popong. Mantan anggota DPR ini berharap Pemerintah serius meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik.
Upaya yang Bisa Kita Lakukan