Lihat ke Halaman Asli

Widha Karina

TERVERIFIKASI

Content Worker

Memimpikan Dunia bagi Perempuan Berdaya, Bukan Sekadar Utopia

Diperbarui: 12 Desember 2023   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Shaheena dan Dee, dua anggota Girl Power Talk dari Indonesia. Sumber gambar: Girl Power Talk

Bayangkan ada sebuah perusahaan yang memilih kliennya, dan bukan sebaliknya.

Terasa mustahil? Tapi Girl Power Talk bisa melakukannya.

Perjumpaan saya dengan kelima anggota Girl Power Talk Indonesia adalah sebuah "wow moment". Mind-blowing. Sekaligus mengherankan. Bagaimana bisa sebuah korporasi menolak klien apabila klien tersebut tidak memiliki value serupa? 

Adalah Luna Kania (Sr. Associate of Content & Media), orang pertama yang saya kenal dari Girl Power Talk. Dengan peran barunya sebagai Ibu muda yang bekerja dari rumah, ia khawatir suatu saat anaknya ikut on cam saat berbincang secara daring dengan klien. 

Luna membicarakan kekhawatirannya dengan Rachita Sharma yang merupakan CEO & Founder dari Girl Power Talk. "Bagaimana jika di tengah meeting anakku menangis. Atau klien tidak suka jika anakku ikut bekerja dan terlihat di kamera?" Mendengar pertanyaan ini, Rachita menjawab, "Jika begitu, mungkin mereka bukanlah klien yang kita inginkan."

Mendengar cerita Luna, saya agak bengong ... sedikit.

Perempuan vs Ekspektasi Publik
Pada profil LinkedIn-nya, Girl Power Talk menuliskan bahwa entitasnya lebih dari sekadar korporasi yang bergerak di bidang digital marketing dan konsultan. Girl Power Talk adalah juga sebuah gerakan sosial dan komunitas pemberdaya yang berharap dapat memberikan impak sosial kepada masyarakat. Terutama pada isu perempuan, gender dan keberagaman.

Hari ini, isu perempuan dan gender masih kerap mendapat cibiran di Indonesia. Padahal, isu ini telah menjadi perbincangan jamak yang terarus-utamakan di Indonesia. Cukuplah menyelam beberapa menit di kolom komentar media sosial, maka kita akan dengan mudahnya menemukan kata-kata bernuansa melecehkan dan merendahkan perempuan. Bahkan, tak sedikit di antaranya yang menuding aktivis perempuan sebagai manusia yang menentang fitrah.

Sesungguhnya, pada sisi lain, tak ada jaminan bahwa perempuan "yang mengikuti fitrah" dapat terbebas dari stigma. Sejenak, kita bisa bercermin pada peristiwa yang belakangan ini menimpa seorang host video Kinderflix yang dikenal dengan panggilan Kak Nisa.

Video Kak Nisa bertujuan untuk menghibur dan mengedukasi balita. Dalam masyarakat kita, tugas mengasuh dan mengedukasi anak lebih banyak dibebankan kepada perempuan yang kelak menjadi seorang ibu. Oleh karenanya, aktivitas yang dilakukan Kak Nisa dalam video tentu saja sudah memenuhi "fitrah" sebagaimana harapan masyarakat atas seorang perempuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline