"Selama delapan tahun menjelajah Nusantara, Ternate menjadi tempat tinggal dan transit terlama Wallace ...
... Selama bertahun-tahun, para ahli gigih mencari rumah Wallace berdasarkan keterangan dalam buku itu. Ada tiga lokasi yang diduga rumah Wallace dan belum ada kata sepakat rumah yang mana sebenarnya."
"Menelusuri Jejak Warisan Wallace", Harian Kompas, 9 September 2019
Ada yang menarik perhatian saya dari Tajuk Utama Harian Kompas Senin lalu. Pada kolom paling kiri, termuat kisah perjalanan Ekspedisi Wallace yang janjinya akan diulas selama 8 terbitan.
Liputan khusus ini dibuat demi memperingati 150 tahun terbitnya The Malay Archipelago, buku Alfred Russel Wallace yang berisi perjalanannya ke Hindia Belanda.
Mengapa pula saya mesti bergirang hati membaca lipsus ini, padahal tak seberapa memahami garis imajiner yang Alfred Russel Wallace ciptakan untuk membelah karakter ragam flora fauna Indonesia? Alasannya, saya dan seorang teman juga pernah mencari rumah yang sama, dua tahun lalu.
Sesungguhnya, tidak ada yang istimewa dengan pencarian "Lorong Wallace" di tengah permukiman Ternate. Sudah banyak orang berusaha mencari gang yang diyakini menjadi rumah Wallace saat ia menyusunnya dalam deraan sakit malaria.
Mulai dari utusan Kerajaan Inggris, peliput kredibel sekelas Harian Kompas, akademisi, pecinta sains dan lingkungan, hingga turis kepo macam saya dan teman saya. Semuanya pulang dengan kisah samar.
Pertama, Ivana teman seperjalanan saya ternyata sudah mengantongi list to do yang harus dihampiri sebelum mati: mampir ke Rumah Wallace.
Heran juga. Di samping harapan saya melihat beberapa benteng yang merekam sejarah perebutan rempah, ternyata dia menyimpan keinginan untuk merasakan suasana rumah yang mengilhami naturalis asal Inggris tesebut hingga namanya kerap kami baca saat SD, bersanding dengan Weber, berseliweran dalam buku IPA maupun IPS.