Jika anak bungsu Dewi Ayu berjenis kelamin laki-laki dan tinggal bukan di Halimunda, melainkan bergeser ke arah timur Pulau Jawa. Dan kemudian diadopsi oleh sebuah keluarga yang boro-boro dipuja dan membuncahkan feromon warga, melainkan membuat siapa pun memalingkan muka. Dan bila saja anak itu tumbuh tidak dalam kealpaan sistem agama, melainkan lekat dengan kultur Islam yang membuat dirinya diberi nama Muhammad Dawud. Atau lazim dipanggil Mat Dawuk.
Narasi dibuka oleh seorang tokoh yang didapuk sebagai narator. Warto Kemplung namanya. Pada satu atau banyak bagian yang mengisahkan laku persuasif Warto Kemplung, rasa-rasanya saya seperti membaca naskah drama. Dialog yang berkesinambungan dan gerakan-gerakan besar layaknya entakan sandal dan raungan minta kopi. Atau gestur-gestur kecil signifikan yang tentu saja memberikan suspense dan cue di panggung teater.
Warto Kemplung berkisah dari bangkunya, di sebuah warung kopi (saya membayangkan visual seorang pria bersarung yang hampir selalu mengangkat sebelah kakinya). Tentang tragedi seorang anak laki-laki yang terlahir berhidung gerowong dan berbibir cuil, ah pokoknya buruk rupa. Ayahnya sendiri urung menerimanya, terlebih karena sang istri mati karena melahirkan si anak, yang di kemudian hari malah mendapat perlindungan dari Mbah Dulawi, kakeknya.
Mat Dawuk, nama yang kemudian disematkan pada anak buruk rupa itu lantaran perawakannya yang mengerikan, tak pernah benar-benar punya kawan. Bahkan Mbah Dulawi meninggalkannya saat usia si bocah belum genap lima, menghilang begitu saja. Mat Dawuk tak pernah pergi sekolah dan tentu saja itu baik, mengingat warga Rumbuk Randu lebih senang menganggapnya tak pernah ada. Apalagi mengizinkan Mat Dawuk bergaul di sekolah bersama anak-anak mereka.
Sementara itu, pada era yang sama (masa ketika Golkar berkuasa), hidup pula seorang gadis kembang desa Rumbuk Randu. Inayatun. Anak Pak Imam yang dipandang karena sang bapak adalah tokoh agama.
Lahir dengan wajah cantik nan menggemaskan, Inayatun pun terbiasa menerima limpahan cinta dari orang-orang. Ia menyadari hal tersebut itu dan tak segan-segan menyambut teman-temannya yang sekadar birahi atau mencoba menyoel tubuh ranumnya. Dari tentu saja, dari sosok bocah kecil idaman, Inayatun lambat laun berubah menjadi gadis ancaman.
Singkat kata, dalam sebuah perjalanan mencari penghidupan, Mat Dawuk dan Inayatun dipertemukan dalam perantauannya di Malaysia. Setelah menikah tiga kali, Inayatun membawa Mat Dawuk pulang ke Rumbuk Randu sebagai suaminya yang keempat. Seisi Rumbuk Randu pun gempar, lebih-lebih orang tua Inayatun yang sudah lama pasrah membiarkan tingkah Inayatun, tetapi kali ini sungguh di luar dugaan.
Pernikahan bahagia antara Mat Dawuk dan Inayatun memunculkan banyak keheranan dan kecemburuan. Tepatnya: keheranan para perempuan, kecemburuan para pria, pertanyaan dari para bocah, dan kegeraman bagi siapa saja yang tidak menyukai kehadiran Mat Dawuk yang konon telah menjadi pembunuh bayaran di Negeri Jiran.
Dan misi menyingkirkan Mat Dawuk pun dimulai, dengan restu serta keterlibatan sejumlah tokoh masyarakat yang dianggap memiliki kekuatan di Rumbuk Randu. Antara lain Mandor Har, Blandong Hasan, dan Pak Imam, ayah Inayatun sendiri.
Apa-apa saja yang baik dan membuat ceria
Niat membaca "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu" sesungguhnya dimulai dari kabar kemenangan novel ini pada penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Penulisnya, Mahfud Ikhwan, bahkan sempat memenangi Sayembara Novel DKJ 2014 melalui karyanya yang berjudul "Kambing dan Hujan". Maka sudah tentu "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu" menjadi salah satu buku incaran yang harus dibaca.