Lihat ke Halaman Asli

Widha Karina

TERVERIFIKASI

Content Worker

3 Kegiatan di Udara yang Bisa Kamu Coba di Semenanjung Malaka

Diperbarui: 31 Agustus 2017   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang wajib dilakukan di ketinggian adalah: foto-foto! Dokumentasi Widha Karina

Aktivitas di udara selalu mencuri perhatian pelancong di mana saja. Orang berani bayar mahal demi sekadar menikmati sensasi terbang di ketinggian atau merasa bebas lepas dengan batasan cakrawala yang lebih jauh daripada di darat. Tak peduli kadang ketinggian bisa membuat kaki agak gemetar, yang penting mah seru dan selfie dulu… Nah minggu lalu saya beruntung banget nih bisa diajak keliling Kota Malaka dan mendapatkan bird eye view yang indah.

Semananjung Malaka (terutama kawasan heritage Kota Malaka) memang seksi banget dipandang dari ketinggian. Dengan reruntuhan bastion, museum dan kanal-kanal tua, bagi saya kota ini menyerupai kawasan Kota Tua di Jakarta, hanya dalam ukuran yang jauh lebih besar dan (jauh lebih) terawat. Saking terawatnya, saya malah mendapat kesan bahwa kawasan heritage Malaka yang diakui UNESCO ini mirip Taman Impian Jaya Ancol, tapi ukurannya satu kota sendiri. Kota, tapi kok ya mirip kawasan wisata terintegrasi. Eh, maksudnya kota tapi ditata sedemikian rupa sehingga jadi mirip kawasan ramah turis. Eh gitu deh pokoknya…. Hehe….

Pekan lalu saya diajak oleh Gaya Travel Magazine (semacam majalah tourism lokal) yang mengundang sejumlah media dan bloger dari beberapa negara di Asia untuk mencicipi keramahan ala Malaka. Selama tiga malam, rombongan kami diinapkan di Hatten Hotel dan secara kebetulan, jendela kamar saya menghadap…….Selat Malaka! Akkk tidaakk! Cantik banget! *terharu

Dari jendela kamar, saya bisa mengintip Pelabuhan Malaka yang hingga sekarang masih beroperasi, melanjutkan kejayaan Malaka yang sejak dulu menjadi titik temu pedagang dan bangsa-bangsa Eropa, Asia dan Nusantara. Katanya sih pelabuhan yang sekarang bukanlah pelabuhan asli yang digunakan pada abad-abad lampau. Pelabuhan yang sekarang sesungguhnya dibangun di atas pantai reklamasi, sedangkan yang lama mungkin letaknya mirip Sunda Kelapa di Batavia, tak jauh-jauh dari kali besar yang membelah kota.

Entah bagaimana nasib Si Pelabuhan Tua saat ini. Pun sepanjang saya mengelilingi kota pesisir ini, tak tampak permukiman penduduk. Agak aneh kalau mengingat di zaman dulu, katanya kota ini adalah melting potyang menciptakan karakteristik manusia dengan identitas baru lantaran asimilasi budaya yang melahirkan wajah Melayu dengan mata sipit, kulit legam, tapi bisa bicara Bahasa Arab sampai Bahasa Tiongkok. Hmmm.. Lalu ke mana perginya rumah-rumah tua di dekat pantai Selat Malaka? Apa mungkin penduduk setempat direlokasi untuk pemugaran besar-besaran kawasan heritage ini? Entah….

Dari titik yang sama, saya dapat melihat Pulau Besar. Sebuah pulau di kejauhan yang dikenal penduduk sekitar karena bentuknya yang menyerupai perempuan hamil yang tengah berbaring. Konon di sana banyak kisah mistisnya. Eh tapi kok ini jadi ngelantur. Ilustrasinya kepanjangan. Mending langsung kita tengok saja pilihan kegiatan apa saja yang dapat dicoba di ketinggian Semenanjung Malaka.

  1. Makan di Udara
    Yayaya. Makan di udara. Klise banget. Tapi menjadi tidak klise karena kami makan di hotel kedua tertua di Malaka. Ahhh…. Dan saya suka banget gimmick-gimmick sejarah dan klasik macem gini. Apalagi ditambah iming-iming bisa lihat sunset dan sunrisedi tengah bayangan kejayaan masa lampau. Yah kalau udah dirayu macam gitu, lemah deh saya… Singkat cerita, selamat datang di Hotel Equatorial Melaka!

    Di kejauhan terlihat Menara Taming Sari. Caper, neropongnya pakai logo Kompasiana ;p (Dokumentasi Widha Karina)

    Dato KRK Chris Murray (Marketing & Communications Manager) mengatakan bahwa di hotel yang kerap dinamakan The Grand Old Lady ini punya akses 360 derajat untuk memandang Malaka. Kalau hotel-hotel lainnya memiliki terlalu banyak gang dan sudut, maka beliau mengatakan kalau tamu bisa menikmati panorama minim penghalang selama menyantap makan.

    Seperti hotel-hotel lainnya, Hotel Equatorial Malaka mempunyai menu istimewa yang menjadi andalan mereka. Maka, jadilah malam itu kami menyantap sajian ala Baba Nyonya. Baba Nyonya di sini bukan nama restoran ya, melainkan jenis/penggolongan sajian berdasarkan karakter sajian tersebut. Baba Nyonya adalah sebutan bagi kalangan Tiongkok Peranakan (Baba = Bapak, Nyonya = Ibu), atau perkawinan campur antara orang Melayu dengan Tiongkok. Perkawinan campur ini menciptakan ragam sajian chinese food, tapi sarat dengan cita rasa Melayu yang dinamakan sajian Baba Nyonya. Soal ini, tungguin artikel saya selanjutnya yang akan membahas makanan ya!

    Sebelum makan, nontonin matahari terbenam dulu. Sayangnya lagi agak mendung :( Dokumentasi Widha Karina

    Kudapan ala Baba Nyonya. Sebelah kiri otak-otak pedas, di kanannya semacam somay. Dokumentasi Widha Karina


  2. Naik Menara Taming Sari
    Sedihnya, Malaka bukanlah surga buat kamu-kamu yang hobi naik wahana ekstrem. Iya, saya juga sedih. Makanya saya udah lonjak-lonjak bergembira dalam hati ketika bisa colong-colong waktu di sela-sela jadwal trip buat naik menara yang satu ini. Kebetulan lokasinya nggak terlalu jauh dari hotel (itu di foto atas yang ada logo Kompasiana-nya, ada sedikit penampakan Menara Taming Sari yang saya tangkap dalam bunderan logo Kompasiana).

    Harga tiketnya sih lumayan mahal, sekitar MYR 23 (atau + Rp 69.000) buat satu orang dewasa berkewarganegaraan asing. Tapi lumayan lah. Dengan uang segitu, kita sudah dapat senyum, pertanyaan “Dari mane?”, sebotol air mineral, dan sesi foto gratis (yang hasil cetaknya mesti kamu tebus di akhir sesi naik wahana). Menara ini memiliki kapsul penumpang yang bentuknya lingkaran dengan sudut-sudut kecil mengelilingi tiang utama. Bingung? Sekarang bayangin aja menara TVRI di Senayan. Nah, ada ruang pandang yang tinggi itu kan. Lalu bayangkan aja si ruang pandang itu bisa turun buat ngangkut penumpang, lalu naik, berputar di atas, lalu turun lagi. Perlahan.

    Menara Taming Sari dari sudut pandang ndhangak ;D (Sumber: gomelaka.my)

    Sekali jalan, Taming Sari dapat mengangkut puluhan penumpang dengan durasi waktu 7 menit saja. Mungkin karena saya datang ketika hari kerja, maka Taming Sari-nya ngetem dulu cukup lama, sekitar 15 menit, sembari menunggu penumpang.

    Meski bukan wahana ekstrem, menara yang satu ini bisa membuat saya bergembira lho. Kalau di Hotel Equatorial Melaka saya bisa melihat Malaka dari lantai 20-an, Menara Taming Sari ini sebenarnya berada pada ketinggian yang tak terlalu tinggi (halah). Jadinya saya masih merasa dekat dengan bangunan yang dilihat dan bahkan saya bisa melihat kanal dan gang-gang kecil yang mungkin tidak terlihat saat makan malam.

    Nah, kalau sudah di sini, lakukan SOP-nya: foto pakai kaki atau selfie dengan latar kota bersejarah Malaka! Hahaha. Selain Taming Sari, Malaka juga punya bianglala lho, tapi saya tak sempat mampir naik. Namanya Malaka’s Ferris Wheel yang terinspirasi oleh London Eye dan Singapore Flyers. Posisinya benar-benar di tepi Sungai Malaka, tapi tepi sungai yang ujung sebaliknya kalau dari Taming Sari.

    Yagapapalah ya selfie sesekali. Di bagian belakang kelihatan Sungai Malaka dan pelabuhan baru Malaka. (Dokumentasi Widha Karina)



  3. Hirup Udara Banyak-banyak
    Wisata udara yang satu ini mewah banget, serius! Dan gratis. Dan bisa dilakukan di mana saja, nggak perlu dari ketinggian. Iya, Kompasianer, kawasan heritage Malaka adalah kawasan yang bebas dari asap rokok. (Hiyak, saya sudah melihat kernyitan dahi di antara kalian yang perokok. No offense lho ini….)

    Jadi sebenarnya saya nggak tahu kalau ada larangan dilarang merokok di seluruh kawasan heritage Malaka. Lalu tibalah saat ketika kami makan es cendol duren di sebuah restoran di Jonker Street (salah satu lokasi belanja dan kuliner di sana). Alih-alih ngeyup di outdoor, kepala rombongan kami memilih untuk duduk di dalam ruangan dengan AC yang kuenceng buanget.

    Langit sendu Malaka ternyata tak banyak dicemari oleh asap rokok. Menarik. Ohya, di kejauhan itu yang tadi saya sebut Pulau Besar. Bentuknya menyerupai perempuan berbaring yang sedang mengandung. (Dokumentasi Widha Karina)

    Karena pada dasarnya saya gak suka AC, saya risih, lalu saya bertanya, “Kenapa kalian selalu memilih indoor ketika makan? Di tempat saya, orang akan lebih berebut untuk duduk di luar.” Seorang rekan media asal Tiongkok yang sudah lama tinggal di Malaysia menjawab, “Mungkin karena mal di Jakarta konsepnya banyak indoor dan di sana nggak terlalu panas? Di sini udara panas sekali karena di pinggir laut, orang jadi sangat bergantung pada aircond.”
    “Nggak juga sih. Di sana juga panas. Tapi teman-teman saya yang merokok butuh smooking area.”
     “Oh. Iya, di sini memang tidak boleh merokok. Syukurlah!” samber seorang rekan media asal Polandia.
     “Sungguh? Saya baru tahu!”
     “Ya, bahkan di hotel-hotel, di beranda hotel, dan di tempat-tempat lainnya”
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline