Sumber: img.buzzfeed.com
Ibu saya adalah seorang perempuan yang bekerja di luar rumah. Ia bekerja sejak belum menikah, sudah menikah, melahirkan dua bayi, bahkan hingga sekarang. Hingga kedua bayi merahnya beranjak dewasa.
Ibu saya tidak bisa memasak. Ia dibesarkan oleh seorang perempuan yang masakannya luar biasa, tetapi dirinya tidak menemukan minat dalam mempelajari teknik masak seperti induknya. Meski demikian, ibu saya piawai membersihkan rumah dan melakukan hal lainnya. Bapak kami maklum, saya maklum, adik saya maklum. Kami tidak pernah protes apabila ibu tidak memasak pada pagi hari dan malah membekali kami dengan nasi uduk yang dibeli di warung dekat rumah. Ah, tapi ibu selalu menyeduh susu untuk saya dan adik saya, juga teh/kopi untuk bapak. Gulanya sedikit saja, karena ibu tidak terlalu suka manis dan percaya bahwa keluarganya tidak boleh mendapat asupan gula terlalu banyak.
Meski tidak bisa memasak, ibu saya tetap seorang Jawa dengan pemikiran tradisional. Bapak saya pun demikian. Tentu keluarga dengan nilai-nilai konvensional mendambakan seorang istri yang bangun pagi, memasak, membangunkan anak, memandikannya, memakaikan seragam, memasak makan malam, dan terakhir, membuat rumah terasa nyaman untuk membuat semua anggota keluarganya lelap. Inginkah bapak atau ibu saya mempunyai rutinitas keluarga seperti itu? Saya yakin mereka mendambanya. Terutama bapak saya, yang dibesarkan di pelosok sebuah desa, di sekitaran Boyolali – Kartasura. Yang sejak remaja ingin punya istri ayu dan sayu. Sregep lan manut.
Entah sejak kapan, keduanya sudah punya perjanjian. Kalau ibu sudah melahirkan dan anaknya menangis di tengah malam, bapak akan bangun bergantian dengan ibu untuk mengurus anak mereka. (Repro dokumentasi pribadi, saat saya masih di dalam perut dan dibelahkan kelapa.)
Tapi ibu saya (yang sebenarnya ayu dan sregep tapi tidak sayu dan manut) itu tidak bisa melakukan semua tugas tadi secara komplet karena dia harus bekerja di luar rumah. Ia tidak bisa mengerjakan semuanya seorang diri. Ia butuh bapak saya. Ketika saya masih bayi dan menangis di tengah malam, ibu saya meminta bapak yang bangun dan mendiamkan saya, sementara energi ibu habis menjaga saya sepanjang pagi sampai sore. Mencuci popok, menggendong buntelan daging berbobot 4,5 Kg dan membersihkan rumah. Maka ia butuh tidur. Tetapi jika yang saya butuhkan pada tengah malam adalah ASI, maka bapak akan memberikan saya ke ibu, lalu bapak tidur kembali.
Saya sering berinteraksi dengan asisten rumah tangga yang menjaga saya ketika saya pulang sekolah, ketika ibu belum pulang dari tempat kerjanya. Ketiadaan ibu di rumah dan absennya beliau ketika saya makan siang dan tidur sore tidak membuat saya membenci ibu. Termasuk ketika Bulan Ramadan tiba dan asisten rumah tangga harus pulang ke kampungnya, saya tidak membenci siapa-siapa. Tidak membenci si mbak, apalagi si ibu. Saya dengan riang hati berjingkat masuk rumah yang kosong, membuka tudung saji berisi lontong sayur yang dibeli ibu dari gerobak dagang yang lewat. Ibu menulis sesuatu di selembar kertas yang disenderkannya pada mangkuk lontong sayur. “Hari ini lontong sayur. Jangan lupa kunci pintu.” Isi pesannya tawar. Ibu saya memang nggak manis orangnya. Tapi itu sudah cukup. :)
Ibu saya bisa tidur kapan pun ia mau. Ibu saya mirip seperti saya, mudah tertidur di mana saja dan kapan saya. Bapak saya juga begitu. Adik laki-laki saya pun turut serta. Hobi kami sama: tidur. (Dan saya sering kesulitan menahan keinginan untuk menaruh keahlian tidur di mana saja dan kapan saja ke dalam kolom ‘skill’ pada CV lamaran kerja). Meski hobi kami sama-sama tidur pulas, syukurnya si ibu adalah morning person. Ia terbiasa bangun paling pagi, lalu menjerang air, lalu membangunkan semua orang, lalu ke warung untuk membeli gorengan untuk mengganjal perut siapa saja, tapi tidak termasuk pintu. Pintu kan ganjelannya kayu. (Yaelah..) Tapi toh tidak menutup kemungkinan ia sesekali bangun kesiangan, bahkan lebih siang dari bapak. Kalau sudah begitu, pagi hari terasa kacau. Bapak saya kelimpungan, saya hampir ketinggalan jemputan, lalu adik saya tetap keblinger dalam mimpi dan angan. Tapi,what's the big deal? Nothing. Bangun siang adalah salah satu hal manusiawi, tidak peduli siapa pelakunya: perempuan ataukah laki-laki.
Tiga jagoan tidur di rumah. Bapak - adik - saya. Komposisinya ada dua laki-laki dan dua perempuan. Boleh dong ya.. :) (Repro dokumentasi pribadi)
Belakangan ini saya dibuat terkejut dengan satu artikel yang diperuntukkan Kepada Kartini yang Bangun Siang Hari. Membacanya paragraf demi paragraf artikel tersebut mengingatkan saya akan sosok ibu, saya dan teman-teman perempuan sepermainan saya. Ibu masih selamat dari dikotomi Kartini Bangun Siang karena meski ia sering teler mengerjakan pekerjaan domestik dan di kantor seharian, ia tetap bisa bangun pagi. Ia makhluk yang berkawan dengan gelapnya subuh dan dinginnya pagi. Tapi saya dan kebanyakan teman sepermainan saya? Uh, jangan harap.
Buat saya, tidur cukup adalah sebuah kebutuhan. Kurang tidur akan membuat koordinasi badan saya kacau. Jika terakumulasi, maka mood saya pun menjadi buruk. Saya pernah menangis ketika jadwal shift kerja saya keluar dan saya kedapatan jatah masuk pagi. Saya harus sampai di kantor seperti jam masuk sekolah anak-anak: jam 7 pagi. Saya betul-betul bersedih karena dengan begitu, selama sebulan, saya harus ditarik dari kenyamanan saya. Masuk pukul 7, berarti saya harus bangun pukul 4.00 atau 4.30, lalu naik kereta maksimal pukul 5.30. Nyiksa? Buat saya: IYA. Banget. Ceritanya, salah satu poin saya dalam memilih pekerjaan adalah, saya boleh datang siang hari. Syukurlah bulan depannya saya dapat shift masuk jam dua siang. *Terkekeh*