Lihat ke Halaman Asli

Widha Karina

TERVERIFIKASI

Content Worker

Ketika Menjadi Cantik adalah Sebuah Bencana

Diperbarui: 7 Oktober 2021   13:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi | Widha Karina

Bagi saya, novel ini sengaja dibuat dengan potensi supaya tidak bisa dialihmediakan ke film layar lebar. Bukankah itu sebuah kelebihan?

Saya bukannya hanya sebentar tergoda untuk membaca buku yang satu ini. Beberapa kali teman saya bercerita mengenai kepiawaian sang penulis menyelipkan pola pikirnya yang istimewa di dalam kata dan alur cerita. 

Penulis yang sama, yang konon menjadi buah bibir para sastrawan di dalam dan luar negeri karena peluangnya untuk menjadi penerus Pramoedya Ananta Toer. Tetapi saya hampir selalu ragu membelinya danakhirnyamengambil buku dari pengarang-pengarang kesayangan, alih-alih yang satu ini. 

Namun lambat laun, rasa penasaransaya menjadi tak terbendung. Pula berbarengan dengan kembalinya rasa haus yang terlalu untuk membaca buku, saya akhirnya membeli dua buku karya Eka Kurniawan. Inilah karya Eka Kurniawan yang saya baca pertama kali: Cantik Itu Luka.

Saya tidak terlalu suka dengan ilustrasi yang dipilih untuk kover buku  ini, terutama dengan penggambaran perempuan indo berpakaian menyerupai seorang nyai, dengan kupu-kupu berterbangan di sekitar dada hingga langit-langit di atasnya. 

Mungkin ilustrasi tersebut ingin membantu pembaca yang khusyuk membayangkan sosok Dewi Ayu, tokoh utama dalam novel ini. Tapi buat saya, gambaran itu malah membatasi imajinasi saya, sedangkan bayangan saya tentang Dewi Ayu yang perkasa tidaklah sama dengan yang tergambar di sana.

Dewi Ayu adalah seorang perempuan dari perkawinan incest kedua anak tuan tanah Belanda. Masing-masing dari istri sahnya dan satu lagi dari gundiknya.

Tidak seperti orang tua dan kakek-neneknya yang melarikan diri ke Negeri Tulip pada saat kependudukan Jepang dimulai, Dewi Ayu justru ingin tetap tinggal di tanah tempat ia dilahirkan. Tanah rekaan yang diberi nama Halimunda oleh Eka Kurniawan. 

Tidak seperti anak-anak lainnya, Dewi Ayu tumbuh dengan keberanian dan kematangan berpikir yang membuatnya sering berbeda pendapat dengan orang-orang di sekitarnya. 

Ketika tentara Jepang mengumpulkan semua penduduk keturunan Belanda dalam satu penjara, Dewi Ayu adalah satu-satunya tawanan yang tidak merasa terganggu dengan fakta bahwa mereka tidak mendapat makanan yang layak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline