[caption id="attachment_408741" align="aligncenter" width="580" caption="Jakarta. (kfk.kompas.com/Iqro Rinaldi)"][/caption] “Berteman itu dengan siapa saja. Karena itu, kamu nggak boleh pilih-pilih teman.”
Masih ingatkah Kompasianer dengan wejangan yang satu ini? Pesan bertuah ini biasanya akrab di telinga saat kita masih kecil, bahkan saat kita belum memahami definisi ‘memilih teman’. Makna dan tujuannya jelas, yakni untuk mendukung seorang anak bersosialisasi dengan sebanyak mungkin orang-orang di sekitarnya. Nasihat itu telah menjadi bagian dalam sistem nilai di kepala saya karena saya pikir, tidak ada yang salah dengan itu. Setiap orang, entah baik atau buruk sifatnya, ia dapat menjadi guru yang menempa kepribadian kita. Setiap orang, entah baik atau buruk, ia memiliki hak untuk ditemani dan menemani, menjadi homo homini socius yang sejati. Itulah dunia ideal. Dunia utopis yang telah dipupuk sejak kecil, yang selalu melingkupi alam pikir saya ketika masih kanak. Di dalam ide akan dunia tersebut, setiap individu diibaratkan sebagai elemen pembentuk komunitas. Menurut saya sih begitu.
Tapi itu dulu. Beranjak dewasa, bayangan mengenai dunia ideal yang berisi orang-orang yang saling menyapa dan tersenyum itu perlahan kian memburam. Meski orang tua saya datang dari Jawa Tengah, saya lahir dan besar di Jakarta. Kota yang katanya lebih kejam daripada ibu tiri. Sayangnya saya merasa anggapan itu tidak benar. Soalnya, saya tidak punya ibu tiri (hahae!). Masa kecil saya berjalan selayaknya anak-anak Ibu Kota pada masa itu. Bermain nenek gerondong, jengkalan, serta mengoleksi kartu dan kertas surat. Seperti anak-anak pada umumnya, saya juga sering mengalami perselisihan dengan sejumlah teman. Pada kenyataannya, toh saya juga memilih sejumlah orang yang lebih cocok dijadikan teman bermain. Bukankah itu wajar? Katanya orang yang serupa akan saling tarik-menarik. Dan mungkin karena itulah, seorang anak dapat lebih dekat dengan si ini dan tidak dengan si itu karena ada sejumlah kemiripan sifat atau pola pikir. Lumrah kan? Ketika itu, rasanya tidak ada peristiwa yang demikian mengancam keselamatan saya, kecuali kerusuhan pada tahun 1996 yang memuncak di tahun 1998. Pada hari ketika massa mengepung Jalan Jenderal Ahmad Yani dan Salemba, saya ingat betul saya duduk menelungkup di meja kelas. Menangis meraung-raung. Bukan karena keluarga saya tidak kunjung menjemput sementara kelas berangsur kosong, tetapi lebih karena merasa iba kepada bangsa ini. Dalam sedu, saya berulang kali menggumamkan, “Kenapa bangsa ini? Indonesia ini kenapa?” (Ya ya saya tahu kisah ini memang agak dodol, tapi betul. Poin itulah yang saya tangisi.) Setiap mengingat peristiwa itu, saya jadi malu sendiri. Kenapa juga anak kelas tiga SD mikirnya jauh banget. Kan lebih relevan mikirin utang beli pempek di kantin.
Benci tapi Cinta
Namanya juga cinta. Cinta kepada Ibu Kota, kota yang mengakrabi diri saya sejak masih dalam kandungan. Tetapi kini rasa cinta tersebut diuji. Saya sendiri merasakan bahwa kota ini semakin lama semakin sulit saya pahami. Ibarat orang pacaran, mungkin Jakarta itu seperti seorang pacar yang neko-neko. Dari yang awalnya bermanis-manis, kini sudah mulai sulit dijajaki.
Selain sifat curiga yang mewabah, saya merasa jengah dengan isu keamanan yang marak beredar belakangan ini. Begal bukanlah satu-satunya fenomena kriminal yang tumbuh seiring kian seksinya imej sang Ibu Kota. Selain fenomena begal, sebelumnya nyawa kita telah diancam oleh pesan berantai tentang pembobolan ATM, pemerkosaan penumpang angkot, pemerasan lewat telepon, dan lain-lain. Melenakan. Kisah-kisah menyeramkan itu, entah sadar atau tidak telah membangkitkan perasaan waspada yang berlebihan. Memang, ada saatnya saya menertawakan pesan berantai yang sebenarnya lebih cocok dijadikan kisah fiksi daripada reportase kriminal. Soalnya modusnya itu lho... kreatif banget. Si pelaku mestinya jadi penulis naskah film saja alih-alih perancang teror belaka. Tapi ada kalanya saya gentar juga. Bagaimana tidak? Terlepas dari benar atau tidaknya peristiwa yang diberitakan, kisah tindak kejahatan dengan plot dan modus yang beragam itu bukannya tidak mungkin malah menjadi inspirasi para penjahat untuk melancarkan aksinya. Bukannya teratasi, aksi kejahatan dengan modus serupa malah menjamur di tempat lain (lihat saja fenomena begal. Yaa... meski sempat terbit isu bahwa fenomena ini dilatari alasan politis untuk mengembalikan kedigdayaan TNI di tengah sipil). Belum lagi efek teror yang ditimbulkan dari beredarnya pesan semacam ini.
Akibatnya? Sikap waspada bertransformasi menjadi curiga, tak acuh, menghakimi, dan bahkan individualis. Bagi saya sendiri, isu keamanan ini jelas mengancam. Awalnya saya ogah menganggap serius kisah-kisah menyeramkan yang tidak jelas asal beritanya itu. (Kalau kita antusias, bukankah penebar teror tersebut akan merasa berhasil?) Tapi, setelah sukses dijambret akhir tahun lalu, saya tidak pernah lagi menikmati jalan-jalan di Jakarta seperti yang biasanya saya lakoni. Dan yang paling menyedihkan adalah berubahnya wejangan dari orang tua ke anaknya. Tidak ada lagi imbauan untuk berteman dengan siapa saja. Sekarang yang ada adalah anak-anak yang fasih mengatakan, “Sorry. I don’t talk to strangers,” setiap kali disapa oleh orang yang tidak dikenalnya. Mau bagaimana lagi. Saya tidak tahu persis bagaimana relasi sebab akibatnya: sikap tak acuh (diaplikasikan dengan berfokus pada layar ponsel, dsb) memicu kesenjangan sosial dan kemudian aksi kejahatan.. Ataukah aksi kejahatan memicu orang untuk lebih nyaman dengan dirinya sendiri? Ah, ataukah keduanya berkelindan membentuk karakter warga ibu kota?
Tempo hari saya menonton tayangan drama yang mengisahkan tentang sekelompok preman. Beberapa di antara mereka sesungguhnya bertahan menjadi raja kecil hanya untuk melanggengkan eksistensi pendahulunya. Meski dibalut dengan kepentingan mencari uang, preman-preman ini menghindari cara-cara yang merugikan orang lain. Rasanya menarik, bahwa orang yang diberi label ‘sampah masyarakat’ tetaplah seorang manusia yang mempunyai hati. Seraya terpukau dengan gerak-gerik lucu mereka di layar televisi, saya bergumam sendiri, “Kayaknya bagus juga ya kalau punya teman preman.” Ibu saya lewat, melengos sambal menimpali dengan intonasi tinggi, “Apa bagusnya?” Batin saya memprotes. Bukankah Beliau dulu mengajarkan sebaliknya? Siapakah kita sehingga boleh menilai kualitas seseorang hanya dari sebutan yang dilekatkan padanya? Ah. Luruh sudah dunia ideal saya. Konsep masa kecil dan ketika dewasa seringkali berbenturan. Serba salah. Anehnya situasi ini mengingatkan saya akan memori tahun 1998.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H