Lihat ke Halaman Asli

Dialog Imajiner Dengan Dirjen Pajak

Diperbarui: 4 Maret 2016   16:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanya jawab di ruangan megah di lantai 2 KP DJP pagi itu semakin riuh. Terlalu banyak yang ingin bertanya tetapi terlalu sedikit waktu yang tersedia untuk menjawab. Masalah menjadi lebih kompleks karena pagi itu moderator, atau lebih tepatnya tukang antar jemput microphone-nya adalah temanku. Dia dikenal memiliki daya jilat yang luar biasa kepada atasannya. Berkali-kali dia nyatakan bahwa waktu sudah habis. Tetapi aku nekad. Kesempatan ini tidak boleh terlewat. Harus dimanfaatkan bagaimanapun caranya. Aku rebut mic dari penanya terakhir yang hendak diambil oleh si tukang antar jemput mic itu.

“Mohon maaf Pak. Kami minta tambahan waktu. Kesempatan ini sungguh sangat jarang terjadi. Dialog ini sangat penting untuk menghimpun ide dari bawah. Barangkali saja salah satu di antara usulan kami bisa bermanfaat untuk organisasi ini”.

“Maaf Saudara, waktu sudah habis. Jangan membuang-buang waktu beliau yang sangat berharga”.

Lantang sekali temanku memotong kalimatku. Memang begitulah dia. Lembut, penuh kesopansantunan dan teramat melindungi pada yang kedudukannya lebih tinggi dari pada dia. Apalagi kalau orang-orang itu pernah atau bisa ngasih job untuk tambahan penghasilan buat dia. Malahan tak jarang dia sampai menggunakan bahasa kromo inggil ketika berkomunikasi dengan atasannya kalau mereka masih satu suku. Tapi kalau sama yang sejajar, apalagi yang dibawahnya, pernyataan dan sikapnya tegas, kaku dan keras tanpa ampun. Dia akan menyalak pada siapapun yang mencoba sedikit kritis pada atasan atau organisasi ini. Istilah populernya: “menggonggong sejak dalam pikiran”.

Aku tidak mau menyerah begitu saja. Dengan mic di tangan aku berkata:

“Beberapa waktu yang lalu, bapak-bapak yang di depan ini, pernah mengambil waktu yang sangat berharga buat keluarga kami. Dua jam perhari selama beberapa bulan, kesempatan puluhan ribu pegawai DJP bercengkarama dengan keluarga hilang dan hasilnya juga tidak jelas kecuali sebagian dari kami yang jatuh sakit karena tubuh sudah tidak mampu lagi mentolerir jam kerja yang terlalu panjang. Jadi tidak ada salahnya jika saat ini saya meminta waktu tambahan beberapa puluh menit saja kan?”.

“Tidak bisa. Anda tidak mentaati peraturan dialog ini dan pernyataan anda sudah mulai melenceng dari tema. Saya berwenang men-cut pertanyaan Anda !”.

“Bagaimana Bapak Dirjen?”, aku bertanya untuk meminta beliau menengahi.

“Ah tetep tidak bisa. Sesi pertanyaan sudah ditu ...”.

“Biarkan dia menyampaikan pertanyaan Mas. Saya masih ada sedikit waktu. Beri dia waktu tambahan 15 menit ...”, suara Bapak Dirjen memutus kalimat temanku itu. Wajahnya langsung merah padam menahan amarah. Matanya melotot. Tampak sekali dia tidak suka aku diberi kesempatan bertanya. Aku hanya tertawa dalam hati. Mana mungkin lah dia berani membantah sabda big bos kami ini.

“Terima kasih Bapak Dirjen. Dalam kesempatan ini saya hanya akan menyampaikan dua hal saja. Bukan pertanyaan tetapi berupa ide atau saran. Yang pertama adalah sebuah pengalaman yang dibagikan oleh dosen saya di  STAN dulu, Bapak Anis SB ketika melakukan studi banding masalah perpajakan ke Kanada. Pada suatu kesempatan salah satu anggota delegasi dari Indonesia bertanya kepada personil Canada Revenue Agency (Badan Penerimaan Negara Kanada).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline