Lihat ke Halaman Asli

Swidan

Pembelajar

Antara Dia dan Pertiwi

Diperbarui: 16 September 2017   12:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Ole: Sri Sudewi Widanarti)

Kaki mungil lelaki kecil terseok-seok melintasi ranah berkerikil. Alas kakimu? Berapa kilometer kau berjalan? Mentari menghangatkannya, meski tak sehangat pelukan Emak tadi malam. Wajah tak berdosa, tapi penuh goresan luka dihatinya. Goresan itu yang membuatnya matang. Dewasa dari umurnya yang sebenarnya.

Koran! Koran! Koran...!

Tangannya mengantar dunia kecil untuk dibaca puluhan pasang mata. Peluhnya terbayar dengan lembaran uang yang cukup untuk membuatnya tertawa. Sebungkus nasi dengan dua potong tahu dan tempe. Kantong celana ditutupnya rapat-rapat, agar tidak dicopet lagi. Jakarta memang belum menjadi kota yang ramah.

Jiwa yang gigih dalam perjuangan menaklukkan hidup, itu saja tidak cukup. Perlu kulit berlapis baja untuk melindunginya. Panas terik, dinginnya malam yang terkadang tanpa pelukan Emak, ditampar orang, dan ditendang sudah menjadikan kulitnya jauh lebih mengkilap dari sisik ikan yang diterpa sinar mentari.

"Permisi Pak, Bu..." ucapnya sambil mendendangkan lagu yang terkadang salah diucapkannya.

Suara cadelnya, seperti sedang menahan beban hidupnya bersama Emak. Uang receh yang mampu dikumpulkannya, tak lebih hanya persediaan makan besok. Jika ada orang yang berbaik hati memberikan uang dengan jumlah yang agak besar, ia kumpulkan, mungkin untuk mencoba menuai kembali cita-citanya yang jelas-jelas tidak bisa dicapai hanya dengan selembar uang. Terkadang uang itu hilang sebelum ia sampai di rumah.

Siapa yang mau peduli denganku? Mengapa aku bukan mereka? Diantar Ayah kesekolah dengan mobil yang melindungi kulitnya dari debu. Ah, impian kosong! Kalau sudah miskin, bukankah akan seperti ini terus? Mana ada uang jatuh dari langit!

"Emak sedang apa ya?" tanyanya dalam hati yang penuh kelelahan.

Langkah kakinya berjalan cepat. Senyum diwajah hitamnya yang tampan, tak bisa dibohongi bahwa sebenarnya masa kanak-kanaknya sangatlah suram.

Gubuk-gubuk dipinggir kali itu memang sangat mengganggu pemandangan orang-orang elit. Ya benar. Tapi kemana lagi mereka harus pergi? Berkeliaran di jalan-jalan, bukankah itu lebih mengganggu? Tak ada tempat untuk mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline