Lihat ke Halaman Asli

Wida Puspita

Still Studying for Everything

Dualisme Pajak dan Zakat Membebani Masyarakat Indonesia?

Diperbarui: 30 Juli 2021   23:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pajak merupakan sumber pendapatan negara terbesar di Indonesia. Terbukti menurut data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2010 peranan Penerimaan Perpajakan mencapai 80% dari Penerimaan Dalam Negeri. Apabila dilihat dari jenisnya, penerimaan pajak terbesar bersumber dari Pajak Pusat yaitu Pajak Penghasilan (PPh) 46%, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 36%, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 3%. Sedangkan sisanya 15% lagi bersumber dari BPHTB, Cukai dan Pajak lainnya.

Menurut hasil survei World Bank jenis pajak di Indonesia mencapai 52 jenis. Bayaknya jenis pajak dan pungutan yang ada di Indonesia, ternyata membuat rakyat Indonesia dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah dan tingginya angka kemiskinan memandang pajak sebagai suatu beban berat yang harus ditanggung. Dan mengakibatkan minimnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.

Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia yang setara dengan jumlah muslim di enam negara Islam, yaitu Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Malaysia dan Turki. Hal ini menjadikan Muslim sebagai kekuatan terbesar potensi pembayar pajak dari sisi kuantitas yang jumlahnya mencapai 88% dari total penduduk Indonesia. Rendahnya average tax ratio negara-negara populasi Muslim termasuk Indonesia membuktikan bahwa keberadaan pajak lebih diterima di negara-negara non-Muslim.

Latar belakang dari persoalan tersebut terjadi karena dualisme pemungutan pajak dengan zakat (double taxs), dimana seorang Wajib Pajak (tax payers) juga seorang Wajib Zakat (muzakki). Hal ini dapat terlihat jelas dalam dua UU yang berbeda, yaitu kewajiban zakat dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan kewajiban pajak dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Kedua UU ini menyatakan bahwa zakat dan pajak adalah kewajiban. Selain itu, peningkatan penerimaan pajak ataupun zakat belum menunjukkan adanya korelasi negatif dengan angka kemiskinan. Sehingga beimplikasi pada enggannya masyarakat untuk membayar pajak, dan sulit terealisasinya pengoptimalan pengumpulan dana zakat sesuai potensi yang ada.

        Semua permasalahan yang ada bisa diselesaikan dengan terjalinnya kolaborasi kongkrit antara pemerintah dan masyarakat. Dimana pemerintah melalui program sosialisasi kolektif dari ulama dan umara harus bisa menjelaskan kepada masyarakat yang berpendapat dengan banyaknya jenis pajak membebani, berubah menilai keberadaan pajak sebagai kewajiban ibadah tambahan setelah zakat terutama bagi kaum muslim yang mendapatkan dualisme pajak dan zakat. Hal tersebut harus bisa dilakukan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk meninjau kembali APBN dalam pembuktian wujud nyata distribusi uang pajak yang harus direalisasikan untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga masyarakat bisa merasakan perubahan yang ada setelah membayar pajak.

        Ataupun untuk menghindari dualisme pemungutan dengan zakat, maka zakat harus dijadikan sebagai kredit pajak penuh, seperti halnya Malaysia. Melalui langkah lanjutan berupa penyatuan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan Kantor Pelayanan Zakat (KPZ) dalam satu atap.  Dan untuk menghindari kesalahan pendistribusian, maka zakat harus menjadi sumber penerimaan negara, dengan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) khusus, tidak dicampur dengan sumber penerimaan yang lain. Sedangkan dana pajak (dharibah) harus digunakan hanya untuk hal-hal yang benar-benar diperlukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline