Lihat ke Halaman Asli

Keteladanan dalam Potret Tokoh "Negeri 5 Menara"

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13314774441312775741

Tercatat mulai 1 Maret 2012 film Negeri 5 Menara dirilis. Tak butuh waktu lama bagi film adaptasi dari novel A. Fuadi tersebut untuk menyedot perhatian masyarakat. Terbukti dengan maraknya pembicaraan mengenai film ini di berbagai media. Mulai media cetak hingga media elektronik. Bahkan film ini menjadi perbincangan juga di lingkungan kampus, tempat saya berkuliah. Alhasil suspensi saya terpicu. Dengan beberapa kawan, saya meluncur ke salah satu bioskop di kota Malang untukmenyaksikannya. Tepatnya tanggal 7 Maret lalu.

Film garapan Affandi Abdul Rahman itu menceritakan tentang kehidupan seorang anak bernama Alif. Atas nasehat orangtuanya, dengan terpaksa dia menuntut ilmu di pondok. Padahal dia sangat ingin sekolah di sekolah biasa. Keterpaksaan itu justru membawanya pada pengalaman hidup yang penuh warna, hingga Alif bisa mengenggam mimpinya, menakhlukkan “menara”-nya.

Sebuah cerita, baik itu dalam kemasan film maupun novel atau kemasan lainnya, memang tidak akan bisa lepas dari tokoh. Melalui tokohlah pesan-pesan disampaikan.Sepanjang film Negeri 5 Menara diputar, saya merasa diperkenalkan dengan tokoh-tokoh yang luar biasa menginspirasi. Hampir semua sosok di dalam Negeri 5 Menara mengemban nilai-nilai yang dapat diteladani.

Mulai dari peran utama yaitu Alif. Kepatuhannya pada orangtua boleh diacungi jempol. Dia rela mengenyahkan keinginan untuk masuk sekolah non agama demi membahagiakan orangtua, terutama Amaknya. Selain itu Alif adalah anak yang cerdas, sopan, dan hormat. Meski pemalu tetapi Alif mudah bergaul dengan siapa saja. Dia sosok yang penyayang sekaligus dermawan. Hal itu kentara pada adegan ketika Alif hendak minum susu di kamar pondok. Teman-temanya yang lain memandanginya. Dia langsung tanggap dan membagi susu tersebut. Sikap hormat Arif ditunjukkannya pada siapapun. Baik itu pada Amak, Ayah, kyai, ustad, senior, dan kawan-kawannya.

Tokoh selanjutnya yakni Amak dan Ayah. Mereka adalah sosok orangtua yang sebetulnya peduli pada masa depan anak. Pada awalnya kedua tokoh ini terutama Amak, terkesan memaksakan kehendak. Namun alasan Amak untuk tetap kukuh menyekolahkan Alif di pondok membuat saya mempunyai kesan lain. Alasan tersebut adalah ingin menjadikan anaknya ulama cendekia. Melalui hal itu, justru Amak memiliki cita-cita yang mulia. Sedangkan Sang Ayah adalah sosok penyayang dan sungguh memperhatikan pendidikan anaknya. Beliau mengantar Alif ke pulau Jawa. Bahkan mempersiapkan pena khusus peninggalan kakek Alif untuk ujian masuk di pondok Madani.

Kemudian tokoh Ustad Salman. Melalui tokoh inilah jargon Man Jadda Wajada dikumandangkan. Via adegan mematahkan kayu dengan sebilah pedang berkarat, tokoh ini terlihat sangat hidup. Upaya yang dilakukan ustad tersebut membuat mantera sakti Man Jadda Wajada bergelora di hati para santri. “Bukan yang paling tajam, tetapi yang paling bersungguh-sungguh! Man Jadda Wajada!”, dialog inilah yang sangat identik dengan Ustad Salman. Kesabaran, ketulusan, dedikasi, dan rasa kasih beliau mampu menjadikannya teladan bagi para santri.

Tokoh teladan berikutnya adalah sang penguasa pondok, yaitu Kyai Rais. Kesan mendalam saya temukan ketika Kyai Rais menolak mentah-mentah seorang tentara yang akan melakukan tindakan suap pada beliau, terkait penerimaan siswa baru. Kejujuran dan ketegasan yang dilakukan beliau membuat tokoh ini betul-betul disegani dan juga diteladani. Selain itu kyai mempunyai sifat ngemong. Beliau bisa mengendalikan para santri dan menerima berbagai protes santri-santrinya. Semua hal itu disikapinya dengan sabar dan bijak.

Tokoh paling penting dalam kisah ini adalah Sahibul Menara. Sahibul Menara beranggotakan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Madura, Atang dari Bandung, Baso dari Gowa, dan Alif si tokoh utama. Hampir setiap hari di waktu istirahat mereka nongkrong di bawah menara masjid yang ada di Pondok Madani. Hal itulah yang membuat mereka dijuluki Sahibul Menara (Pemilik Menara).Bersama kelima kawannya, Alif memperoleh banyak pengalaman.

Diantara anggota Sahibul Menara, Baso adalah tokoh yang paling mencuri perhatian. Kisah hidupnya tak semulus kawan yang lain. Baso, anak yang cerdas dan gigih, harus pulang ke Gowa karena neneknya sakit keras. Selama hidupnya, sang neneklah yang merawat dan membesarkannya. Orangtua Baso sudah meninggal. Hal inilah yang membuatnya gigih untu menghapal Al Quran. Alasannya hanya satu, karena dia ingin menyematkan jubah kemuliaan pada kedua orangtuanya di surga. Sungguh sebuah teladan luar biasa.

Melalui tokoh-tokoh di atas, menurut saya film ini mampu menghadirkan “idola” baru bagi generasi kita. Mengingat, di era global semacam ini sosok-sosok teladan makin susah dicari. A. Fuadi mampu menghadirkan Sahibul Menara bersama embanan nilai yang baik tanpa terlihat khayal. Kearifan mereka tetap dibumbui dengan tindak-tindak tengil ala remaja. Sehingga nampak natural. Kemudian sosok Amak, Ayah, ustad, dan kyai yang juga penuh keteladanan. Film ini mengandung nilai edukasi lewat tokoh- tokonya, yang bisa dijadikan teladan.

[caption id="attachment_165720" align="alignnone" width="286" caption="Dokumen Pribadi"][/caption]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline