Lihat ke Halaman Asli

Refrensi Tentang Berfikir yang Sehat

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Berikut artikel berseri dari ust. Nidlol Masyhud (pernah dimuat di eramuslim dan maillist insistnet), semoga menggugah kesadaran pemahaman kita mengenai apa yang disebut dengen PEMIKIRAN yang SEHAT dan Beragama (dalam tulisan ini, Islam) yang Lurus. Selamat menikmati

NERACA PEMIKIRAN
Oleh. Nidlol Masyhud, Lc*

BAGIAN 1
Manusia lahir membawa tiga potensi besar yang merupakan sarana asasi untuk menyerap ilmu pengetahuan dan mengenal kebenaran. Ketiga potensi yang tentunya merupakan nikmat agung ini adalah kemampuan untuk melakukan penginderaan secara langsung, menerima informasi dari luar, dan berpikir secara sehat. Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa, “Allah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Dan Allah jadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran, agar kalian bersyukur”(QS. An-Nahl: 78).

Semakin optimal seorang manusia mendayagunakan indera, memori, dan rasionya secara tepat, semakin besar pula ilmu dan kebenaran yang diserap dan dikenalnya. Hal ini pada gilirannya akan menancapkan keyakinan-keyakinan yang lurus dan melahirkan tindakan-tindakan yang positif.

Sebaliknya, bila tiga potensi dasar ini diabaikan, atau digunakan tidak semestinya, maka yang lahir adalah kekeliruan berpikir. Kekeliruan berpikir—terutama dalam hal-hal yang krusial—adalah awal segala bencana. Kekeliruan berpikir itulah yang dalam sejarah alam raya merupakan cikal bakal munculnya keyakinan-keyakinan sesat dan perbuatan-perbuatan jahat. Allah Swt. menegaskan, “Dan telah Kami sediakan banyak jin dan manusia untuk (menjadi penghuni) Neraka Jahannam. Mereka punya hati tetapi tidak mereka gunakan untuk berpikir; mereka punya mata tetapi tidak mereka gunakan untuk melihat; mereka punya telinga tetapi tidak mereka gunakan untuk mendengar. Mereka itu layaknya binatang ternak, dan bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 179).

Dosa Iblis yang mendurhakai perintah Allah Swt. untuk bersujud di hadapan Adam a.s. adalah dosa yang berakar pada kekeliruan berpikir. Ia membantah perintah tegas dari Allah itu dengan mengatakan, “Aku lebih baik darinya (Adam). Engkau menciptakan aku dari api, dan Engkau menciptakannya dari tanah!” (QS. Al-A’raf: 12).

Kemudian Iblis juga menggoda dan menjerumuskan manusia melalui kekeliruan dalam berpikir. Ia membisikkan godaannya pada Adam dan Hawa dengan mengatakan, “Tidaklah Tuhan kalian melarang kalian untuk (memakan buah) pohon ini melainkan supaya kalian tidak menjadi malaikat dan supaya kalian tidak menjadi orang-orang yang kekal (tidak mati)!” (QS. A’raf: 20-21).

Iblis menolak bersujud dengan anggapan bahwa api lebih mulia daripada tanah sehingga ia layak untuk mendurhakai perintah Sang Pencipta. Ia juga merusak pikiran manusia dengan membisikkan anggapan bahwa melanggar larangan Tuhan akan menghasilkan manfaat yang besar.

Jadi karena adanya kekeliruan berpikir dalam diri Iblis dan manusia, muncullah keyakinan sesat bahwa Allah Swt. bisa saja memerintahkan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan maupun melarang hal-hal yang justru sebaiknya dikerjakan. Lantas karena keyakinan sesat ini tidak segera diperbaiki, lahirlah tindakan-tindakan jahat berupa pelanggaran perintah mulia dari Yang Maha Kuasa dan penerjangan batas-batas larangan positif-Nya. Oleh karena itulah, Allah berkali-kali menegaskan sebuah peringatan penting kepada umat manusia—khususnya orang-orang yang beriman—dalam Al-Quran, “Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah Syetan! Sesunggunya ia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 168, 208; Al-An’am: 142).

Karena keyakinan sesat itu berakar pada pemikiran yang tidak tepat, maka cara untuk menghindari dan memperbaikinya adalah dengan mengenal dan mengikuti pemikiran-pemikiran yang sehat. Pemikiran yang sehat adalah pemikiran yang memenuhi prinsip-prinsip rasional secara stabil dan efektif. Dan prinsip-prinsip itulah yang merupakan neraca untuk menimbang benar tidaknya sebuah produk pemikiran.

Dalam tulisan berseri ini, insyaallah kita akan coba mengupas satu demi satu prinsip-prinsip rasional beserta gambaran aplikasi dan bahaya-bahaya yang timbul akibat hal-hal fundamental ini dilanggar. Kesehatan berpikir adalah kunci kebahagiaan dan kemuliaan setiap makhluk hidup. Dan sebaliknya, “Seburuk-buruk makhluk melata di sisi Allah adalah orang tuli yang bisu lagi buta serta tidak berakal” (QS. Al-Anfal: 22).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline