Lihat ke Halaman Asli

"Mazhab" Fiqh dan Perbedaan Khilafiyat

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengertian mazhab dalam term keilmuan Fiqh dan Ushl Fiqh disini, bukanlah suatu sekte ataupun aliran. Mazhab dalam kajian keilmuan Islam khususnya Fiqh merupakan suatu metodologi dalam memahami nash. Kenapa kita perlu mazhab? Sebab Rasulullah saw tidak meninggalkan “kitab fiqh tertulis” yang berisi hukum-hukum Islam yang baku, Namun beliau meninggalkan sejumlah kaidah global, sebagian hukum-hukum juz'i (penanggalan masalah) dan hukum-hukum pengadilan yang ada dalam Qur'an dan Sunnah namun belum tersistemasi menjadi satu kajian keilmuan tersendiri

Seiring dengan semakin luasnya Islam sepeninggal Rasulullah dan zaman yang semakin bertambah, tentunya problematika yang dihadapi Ummat pun semakin kompleks. Nah, kondisi ini menuntut ijtihad fiqh untuk meletakkan dasar-dasar kaidah yang sesuai dengan Syariah. Kaidah-kaidah inilah yang kemudian membentuk suatu metodologi fiqh yang kemudian disistemasi dan dibahas menjadi satu keilmuan yang disebut Fiqh dan Ushl Fiqh. Munculnya Mazhab-mazhab seperti Imam Malik, Hanafi, Syafi'i, Hanbali merupakan hasil dari ijtihad-ijtihad para Aimmah tersebut sehingga membentuk suatu sistem metodologi dalam memahami Qur'an dan Hadits. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai Mujtahid mutlak. Sebab merekalah yang pertama kali membuat dan mensistemasi kaidah-kaidah dalam penafsiran hukum Islam menjadi satu keilmuan tersendiri.

Darimana para Aimmah Mazhab tersebut bisa membuat suatu metodologi fiqh? Tentunya mereka tanpa mengenal lelah, mengumpulkan, mengelompokkan, menganalisa atas kaidah-kaidah global dari berbagai sumber-sumber nash yakni qur'an dan hadits serta pendapat maupun ijtihad yang dilakukan para Shahabat dan tabien sebelumnya. Satu persatu ayat Qur'an diteliti, ditelaah, dikaji dan dibandingkan dengan ayat Qur'an yang lainnya lalu dicoba ditarik kesimpulan hukum yang terkandung didalamnya. Kemudian hadits-hadits yang berjumlah jutaan tentunya prosesnya lebih repot lagi menanganinya. Sebab sebelum ditarik kesimpulan hukumnya “alhukma 'alal hadits”, hadits-hadits tersebut harus melalui proses validasi serta ditetapkan dahulu drajat keshohihannya. Disamping itu, dalam proses membentuk keilmuan fiqh tersebut, para Imam juga mengumpulkan pendapat-pendapat, ijtihad yang dilakukan para shahabat dalam memahami suatu nash kemudian membandingkan mana yang terkuat.

Sebetulnya, benih-benih perkembangan fiqh ini sudah dimulai pada masa Sahabat, kita bisa mengenal pendapat-pendapat, ijtihad para sahabat tersebut ada pendapat/mazhab Aisyah, Ibn Mas'ud, Umar ibn Khatab, Abdullah ibn Umar, dst. Dimasa tabi'en kita mengenal ahli fiqh dari madinah seperti said bin musayyid, Urwah bin Zubair. Di Kufah kita mengenal Ibrahim An Nakha'i, guru Hamad bin Abi Sulaiman, guru dari Abu Hanifah, dan lain-lain. Nah, pendapat-pendapat mereka inilah kemudian diformulasikan dan dimasukkan dalam kitab-kitab Imam-imam Mazhab tersebut diawali dengan proses kodifikasi fiqh, dilanjut syuruh (pemberian penjelasan rinci), ihtishat (meringkaskan), penulisan matan, mausuat (ensiklopedi), penulisan kaidah-kaidah fiqh, dst. Sehingga kita mengenalnya sebagai Mazhab Fiqh.

Jikalo ada orang mengatakan “Kita tidak perlu mazhab, sebab kita sudah ada Qur'an dan Hadith!”. Jelaslah orang tersebut tidak tahu permasalahannya. Sebab ketika orang ini nantinya mengambil kesimpulan hukum sendiri langsung dari Qur'an dan Hadits, tanpa sadar sesungguhnya dia sedang mendirikan mazhab baru, yaitu mazhab dirinya sendiri. Dan bila semua orang melakukan hal tersebut maka setiap orang akan mengklaim pendapatnya sendiri yang paling benar karena menurut asumsinya sendiri sudah sesuai dengan Qur'an dan Sunnah. Maka yang terjadi kemudian orang bebas berimprovisasi sendiri-sendiri dalam penafsiran padahal dalam Islam penafsiran itu tidak bisa dilakukan sembarangan, ada kaidahnya, ada rule of the game-nya, aturan main yang sudah diajarkan dan diwariskan oleh Rasulullah saw. Nah, Rule of the Game, aturan main inilah yang menjadi patokan mana penafsiran yang haq dan mana tafsir yang bathil. Dari aturan main inilah Kita bisa mengatakan Ahmadiyah, JI, al Qiyadah, Liberalisasi Agama dsb, itu sesat, perbuatan ini bid'ah, dan lain-lain.

Dalam tradisi keilmuan Islam baik fiqh, khilafiyat atau perbedaan yang disebabkan oleh penafsiran dalil nash sering dijumpai dan menjadi hal yang lumrah. Namun bagi sebagian kalangan, khilafiyat dianggap sebagai sesuatu yang tidak pernah ada bahkan dianggap bid'ah. Bagi kalangan tersebut, Islam adalah satu baik dalam seluruh aspek ajarannya. Pernyataan tersebut tidaklah salah namun tidak tepat, sebab dalam Islam kebenaran itu ada yang bersifat mutlak dan ada pula yang mutaghayirat (banyak), ada yang bersifat qath'i (pasti) dan ada yang pula yang dhanni (samar). Bagi kalangan yang menolak khilafiyat, pembagian seperti qath'i dan dhanni adalah sesuatu yang salah sebab semua nash yang diturunkan baik melalui wahyu ataupun hadith adalah semua bersifat pasti, sesuai dengan sifat kebenaran Allah sendiri. Sehingga nash haruslah dipahami dan diterapkan secara zahirnya (mahfum bi al manthuq).

Namun bila kita melihat konstruk keilmuan Islam sendiri, alasan yang menolak khilafiyat tersebut sebetulnya tidak mendasar. Mari kita lihat secara lebih dalam lagi untuk memastikannya. Sesungguhnya dalam Islam, sesuatu yang bersifat qath'i dan mutlak itu biasanya pada konteks aqidah Islam yang bersifat asasi dan fundamental maupun hal-hal dalam kajian fiqh yang sudah menjadi ijma' para ulama. Sholat misalnya, hal tersebut adalah asasi dan secara terang disebutkan dalam nash, sehingga para ulama pun berijma' mengenai kewajiban Sholat tersebut. Namun fiqh sendiri mempunyai unsur furu' (cabang) didalamnya sehingga kemudian muncul istilah al Qaidah al Fiqhiyyah (kaidah fiqh). Dalam ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatwa menyatakan kaidah fiqh ini berorientasi pada penggalian hukum syar'i , lebih lanjut Imam Syihabuddin al Qurafi dalam al Furuq merinci orientasi ini sebagai panduan legitimasi atas berbagai persoalan yang ada. Hal ini berarti kaidah fiqh terbentuk setelah adanya furu' (cabang), sementara furu' tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash.Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.

Patut diketahui juga bahwa dalam konstruk Ushl Fiqh sebenarnya sudah mempunyai mempunyai mekanisme tersendiri dalam menjembatani adanya khilafiyah tersebut. Menurut Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, ada 4 (empat) kajian utama dalam Ushl Fiqh, yaitu:

1. Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmaliyyah), misalnya al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan seterusnya.
2. Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar’i) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan macam-macamnya.
3. Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalil) atau pengertian kata (dalalah al-alfazh), misalnya tentang makna eksplisit dan makna implisit.
4. Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tatacara melakukan tarjih (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta’arudh).

Dari uraian singkat diatas, kita bisa melihat bahwa khilafiyat itu merupakan hal yang biasa dalam kajian yang bersifat furu' (cabang) khususnya Mazhab fiqh. Oleh sebab itu, sebagai ummat Islam hendaknya memaklumi hal tersebut dan tidak bersikap ekstrim bahkan ta'ashub terhadap perbedaan khilafiyat tersebut. Hal ini pula yang menunjukan bahwa sejatinya hukum Islam itu flexible dan mampu beradaptasi dimanapun dan kapan saja.

Wallahu'alam bisshowab.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline