Lihat ke Halaman Asli

Mengenalkan Pendidikan Anti-Korupsi Sejak Dini

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kasus korupsi di Indonesia menjadi masalah klasik yang hingga detik ini masih merajalela bahkan membudaya ditengah masyarakat. Dalam wikipedia yang merupakan salah satu ensiklopedia online menyebutkan bahwa Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dalam pengertian yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan amoral yang dilakukan seseorang dengan menyalahgunakan kesempatan dalam kekuasaannya demi mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok yang terlibat dalam kecurangan tersebut. Maka sebenarnya banyak tindakan korupsi yang sering terjadi disekitar kita, seperti mahasiswa yang izin tidak mengikuti perkuliahan karena sakit tapi ternyata pergi bersama temannya atau mahasiswa yang masih menyontek saat ujian dan sebagainya.

Perilaku korupsi terjadi karena adanya niat dan kesempatan bagi si pelaku. Tertangkapnya beberapa pejabat negara nyatanya tidak meredakan nafsu korupsi menurun tapi bahkan meningkat setiap tahunnya. Indonesia masih berada dalam posisi merah dalam praktik korupsi. Dikatakan, nilai CPI Indonesia hanya 32 dan menempatkan Indonesia dalam rangking ke 114 negara terkorup di dunia. Maka tidak heran ketika korupsi terjadi dimana-mana, mulai dari petugas pajak, bea cukai, hingga aparat penegak hukum yang seharusnya turut memberantas korupsi justru ikut tergiur dengan tindakan amoral yang merugikan negara ini.

Korupsi di Indonesia telah mengakar kuat dan mendarah daging pada setiap elemen masyarakat karena tidak hanya di lingkungan politik saja, korupsi juga berkembang di lingkungan akademisi bahkan di lingkungan religius sekalipun kerap terjadi kasus semacam ini. Penyakit korupsi memang tidak pandang bulu, ia menyerang orang-orang yang tak kuat iman dan godaan melihat kesempatan melambai-lambai begitu dekat sehingga tidak hanya atasan atau bawahan, laki-laki atau wanita, pejabat negara atau pejabat desa bahkan dikalangan eksekutif hingga yudikatif penyakit korupsi tak bisa dihindari. Sadar atau tidak kita sendiri juga sering melakukan korupsi-korupsi mikro seperti korupsi waktu, tidak jujur, dan hal-hal kecil yang kita anggap wajar tetapi justru menjadi bagian dari bibit korupsi pada tingkat yang lebih tinggi. Pada generasi kita saat ini korupsi seolah menjadi kebutuhan untuk bertahan pada gaya hidup yang hedonisme, tidak lagi sederhana dalam berpenampilan tapi selalu ingin tampil mewah meski harus menghalalkan tindak korupsi untuk memenuhinya. Lalu bagaimana dengan generasi selanjutnya? Mungkinkah korupsi telah tuntas teratasi? atau bahkan korupsi menjadi ladang mata pencaharian mereka dalam bekerja?

Menjadi beban berat bagi KPK untuk segera memberantas korupsi hingga akar-akarnya karena akan percuma saja ketika pemberantasan korupsi hanya dilakukan dipermukaannya saja. Namun bukan hal yang mudah untuk mengorek kebusukan para koruptor ini untuk bisa mengakui kesalahannya. Mereka seolah tak mempunyai rasa malu menikmati fasilitas yang bukan menjadi haknya secara pribadi. Tantangan besar bagi bangsa ini untuk membersihkan nama Indonesia dari pekerjaan termudah dengan penghasilan yang berlimpah. Ironis memang ketika akar budaya korupsi telah menjadi kebiasaan dan melembaga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Kebiasaan pungli dan suap-menyuap saat ditilang, mengurus KTP, memasukkan anak ke sekolah unggulan/favorit, sampai money politik saat pilkades, pilkada serta pilpres demi mendapatkan atau untuk mempertahankan jabatannya, menjadi indikasi yang sangat nyata korupsi ini dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat bahkan yang terdididk sekalipun.

Membangunkan negeri ini untuk bersama-sama membenahi diri tidak bisa dilakukan oleh satu atau dua orang saja, harus ada gerakan bersama untuk mewujudkan pendidikan anti korupsi dapat teraplikasikan sebagaimana yang diharapkan. Memberikan pendidikan anti korupsi bisa dimulai sejak dini ketika anak masih di usia taman kanak-kanak. Pada usia emas ini, anak akan merekam berbagai informasi disekitarnya sehingga pada usia dewasa nanti anak memiliki kesiapan dan karakter yang baik. Seperti program kantin kejujuran yang telah diimplementasikan di beberapa sekolah. Sebagaimana kantin pada umumnya yang membedakan dengan kantin biasa adalah tidak adanya penjaga kantin sehingga pembeli harus mengambil sendiri makanan dan minuman yang diinginkan, lalu menyelesaikan sendiri pembayarannya. Dengan demikian kantin kejujuran bisa menjadi ajang pembelajaran bagi generasi muda tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri yang pada akhirnya akan bermuara pada lahirnya generasi yang menghormati kejujuran sekaligus memunculkan generasi antikorupsi. Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Eko Soesamto Tjiptadi sempat mengatakan bahwa kantin kejujuran merupakan media praktik pendidikan kejujuran bagi murid sekolah. Murid akan dihadapkan pada dua pilihan, ingin menerapkan kejujuran hati nuraninya atau tidak.

Namun pada kenyataannya, kantin kejujuran menjadi cermin yang menunjukkan bahwa mental-mental korup telah terlihat pada generasi saat ini. Tingkat kejujuran yang masih sangat rendah menjadi dasar munculnya bakat koruptor. Bukan hal yang tidak mungkin ketika kebiasaan-kebiasaan tidak baik ini terus dipelihara semakin banyak tokoh-tokoh koruptor yang melumpuhkan perekonomian negeri ini. Pendidikan anti korupsi dapat diintegrasikan dengan pendidikan karakter yang diberikan sejak dini oleh keluarga sebagai bekal dasar yang dibawa anak menuju masa dewasanya. Oleh karena itu, pendidikan anti korupsi mulai diberlakukan pada tahun ajaran baru Juni 2012/ 2013. Pendidikan anti korupsi ini akan diberlakukan sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, tidak hanya bagi siswa, tetapi juga bagi guru dan kepala sekolah serta diintegrasikan dengan pendidikan karakter. Inilah yang disepakati Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 9 Maret 2012 lalu. Mendikbud Muhammad Nuh menjelaskan bahwa kesepakatan ini ingin menjadikan pendidikan dan kebudayaan sebagai motor pencegahan korupsi melalui proses pembudayaan. Krisis karakter yang mendera kaum terdidik inilah yang menjadi perhatian serius dunia pendidikan di Indonesia saat ini, khususnya terkait integritas kaum terdidik dalam menegakkan keadilan sosial.

Penerapan pendidikan anti korupsi untuk anak pada dasarnya harus didukung dengan sikap orang dewasa disekitarnya yang juga menjaga 9 nilai karakter anti korupsi, yaitu jujur, disiplin, tanggung jawab, adil, berani, mandiri, kerja keras dan sederhana sehingga anak mempunyai figur yang bisa ditiru dalam usaha pencegahan tindak korupsi ketika dewasa nanti. Anak adalah peniru ulung, maka dengan memberikan contoh dari sikap dan perilaku kita inilah yang akan memberikan stimulus bagi pembentukkan karakter anak sehingga anak akan  dilatih untuk berani jujur terhadap dirinya sendiri.

Meningkatnya kasus korupsi di Indonesia memang tidak bisa secara serta merta diberantas dan hilang begitu saja. Perlu antisipasi dini untuk menekan laju peningkatan kasus korupsi ini karena dampak dari tindakan korupsi adalah memperbesar angka kemiskinan, ini sangat wajar. Selain dikarenakan program-program pemerintah yang telah dijalankan tidak mencapai sasaran, korupsi juga mengurangi potensi pendapatan yang mungkin diterima oleh si miskin. Menurut Tanzi (2002), perusahaan perusahaan kecil adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran korupsi dalam bentuk pungutan tak resmi (pungutan liar). Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa mencapai hampir dua puluh persen dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan ini amat mengkhawatirkan, dikarenakan pada negara negara berkembang seperti Indonesia, perusahaan kecil (UKM adalah mesin pertumbuhan karena perannya yang banyak menycrap tenaga kerja).

Hasil penelitian Farah Dewi (Mahasiswa Pasca Sarjana UI, 2002) mengatakan jikalau Indonesia sanggup menekan tingkat korupsinya sampai serendah tlngkat korupsi di Jepang, maka dengan performa ekonomi seperti sekarang, Indonesia dapat mencapai tingkat pertumbuhan sebesar 6.37% setahun. Lebih lanjut, jika Indonesia sanggup menekan tingkat korupsinya hingga serendah tingkat korupsi Singapura, maka Indonesia akan mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 10.68% per tahun. Maka mutlak sudah, bahwa pemberantasan korupsi adatah bagian yang tak terpisahkan dari proses perbaikan ekonomi Indonesia. Karena berdasarkan analisa apapun, korupsi tidak mungkin ditolerir. Dan salah satu cara yang dapat diterapkan adalah dengan digalakkannya pendidikan anti korupsi sejak dini. Dengan adanya pendidikan semacam ini, diharapkan beberapa tahun kemudian ketika bibit-bibit calon pemimpin bisa menghilangkan kegelisahan masyarakat akan kasus korupsi yang tak kunjung berakhir. Dan Indonesia bisa menjadi salah satu negara di dunia yang bersih dari korupsi.



Daftar Pustaka

Adib, M. (2012). Pentingnya Pendidikan Korupsi Sejak Dini. diakses pada 19
April 2014 (http://madib.blog.unair.ac.id/)

Gunawan, I. (2013). Dampak Korupsi bagi Perekonomian Indonesia. diakses pada 19 April
2014 (http://indragunawan0605.wordpress.com/2013/11/20/dampak-korupsi-bagi-
perekonomian-indonesia/)

http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline