Lihat ke Halaman Asli

Aku (Tak) Ingin Pulang

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti membuka luka lama, kupandangai detail satu per satu wajah-wajah dalam foto itu. Gambar terakhir yang berhasil diabadikan saat keluargaku masih terlihat utuh. Di tempat yang kini bukan lagi menjadi milikku, rumah kelahiran yang setiap pojoknya selalu mempunyai cerita, kini telah berpindah pada tuan rumah yang lain. Melepaskan rumah itu seperti melepas sesuatu yang sangat berharga sepanjang hidupku. Bukan karena mewah ataupun terlihat indah tapi karena dirumah itulah semua peristiwa penting pernah terjadi. Hampir 50 tahun rumah itu kokoh berdiri menaungi suka duka hidup ini, tapi karena masalah klasik yang selalu mengusik ketenangan ibuku kala itu, rumah yang menjadi harta satu-satunya yang paling berharga harus kami lepas demi terselesaikannya hutang piutang yang membelunggu kami. Dan karena itulah sesi kedua kehidupanku dimulai.

Masih basah dalam ingatanku ketika harus kehilangan lagi orang yang paling ingin kubahagiakan dunia-akhiratnya harus pergi untuk selama-lamanya. Saat itu aku baru duduk di bangku SMA tahun kedua. Bukan hal mudah bagiku melanjutkan hidup selepas kepergian ibu. Mimpi yang telah kandas dan harapan yang tak lagi indah, semua terasa begitu kelabu. Tapi waktu tak bisa memaklumi hidupku untuk sebentar saja berhenti sejenak, hari terus berlari berganti minggu, bulan dan tahun-tahun tersulit ini pun berhasil kulewati.

“Lagi kangen rumah ya Lan?”

Lamunanku membuyar melihat Hani sudah duduk disampingku. Kangen rumah. Ya, aku memang sedang merindukan suasana hangat itu, berkumpul bersama Ibu, Ayah dan kakakku menjadi kenangan terindah yang selalu kuingat setiap merindukan kebersamaan itu.

“Hey, palah senyum-senyum sendiri, udah kalau kangen pulang aja, besok kan libur juga dua hari, lumayan buat ngobatin malarindu kamu itu.” Sarannya menyemangatiku.

“Nggak Han, aku belum ingin pulang.” Jawabku datar sambil menyimpan kembali foto itu dalam dompetku.

“Lho kenapa, kayanya cuma kamu deh yang jarang banget pulang, kenapa sih Lan?” tanyanya penuh selidik.

Kepo dehh…” candaku tak ingin melanjutkan rasa penasarannya bertambah. Melihat wajah sahabatku hanya tersenyum kecut menanggapi gurauanku, senyumku mengembang penuh kemenangan.

Pulang ke kampung halaman selalu menyakitkan untukku, itulah sebabnya aku selalu menahan kerinduanku untuk tetap bertahan diperantauan. Bagi banyak orang pulang ke kampung halaman selalu menjadi hal yang dinanti-nanti, tapi tidak denganku. Bukan aku yang tak peduli dengan keluargaku, tapi aku yang tak ingin teringat lagi semua masa lalu itu. Mungkin karena memang sudah tidak ada lagi dua malaikat luar biasa yang bisa kutemui dirumah itu, apalagi sejak kepergian ibu, semuanya telah berubah. Tidak ada lagi tempat yang paling nyaman untukku bisa melepas lelah seperti dulu, tidak ada lagi tempatku kembali untuk bermanja dan menuntut perhatian lebih seperti dulu, semuanya telah berubah.

Memang tidak ada yang salah dengan masa laluku. Semua yang telah terjadi kujadikan sebagai bahan perbaikan diri. Kalaupun ada yang harus disalahkan, itu adalah aku. Cukup aku yang selalu kalah dengan prinsip yang kubuat sendiri. Hampir empat tahun sudah aku merasakan perubahan itu, sudah lebih dewasakah? Entahlah… tapi yang kurasakan saat ini, hati masih saja terjajah oleh permainan hidup yang kumainkan sendiri. Ketika berada ditengah-tengah mereka, selalu ada perasaan tak nyaman yang membuat diri merasa tersisih dari kebersamaan itu, selalu merasa terbaikan dari perhatian itu padahal diri ini yang selalu ingin menjauh dari keluarga-keluarga kecil itu.

“Ada sms nih Lan.”

“Dari siapa?” tanyaku sambil merebut hp ditangan Hany.

“Mbak kamu tuh nyuruh kamu pulang, betah banget sih di Semarang”

“Iyaa, kan di Semarang ada kamu, nggak tega ninggalin kamu sendiri ntar kalau aku pulang?” ucapku sekenanya.

“Halahhh alesan aja kamu, makin kacau nih lama-lama aku di kamar kamu.” Ucapnya sedikit kesal meninggalkan kamar karena tak puas dengan jawabanku.

Kapan pulang nduk, nggak lupa masih punya mbak kan?

Kubaca lagi sms dari mbakku, tak terasa air mata mulai mencair. Hampir satu semester ini aku memang belum pulang. Aku juga sangat ingin pulang mbak, tapi bukan ke rumah itu, aku ingin pulang ke rumah kita dulu, rumah kita yang sekarang tak lagi terawat dan tak berpenghuni. Aku berusaha mencari kata-kata yang tak menyinggung dengan isi hatiku. Aku tak ingin membuat mbakku sedih karena sikapku yang belum dewasa ini.

Maaf mbak, Wulan belum ada libur panjang jadi belum bisa pulang. Wulan kangen bgt sama mbak,salam buat keluarga dan si kecil ya mbak.

Setelah beberapa kali dihapus, akhirnya dua kalimat singkat itu berhasil terkirim. Menjadi anak bungsu tidak begitu menyenangkan bagiku, tapi bagaimanapun ini semua sudah menjadi kehenakdakNya yang harus aku syukuri. Mungkin dengan semua kejadian ini Dia ingin menunjukkan padaku warna lain dari kehidupan yang sementara ini. Karena belum tentu orang lain mampu berada di posisiku. Dia memang takkan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambaNya, meski begitu pelik lika-liku jalan cerita ini, kuyakin skenario Tuhan lebih indah dari semua perencanaanku yang belum tentu baik untukku.

Iya, mbak juga kepikiran Wulan terus disini, sampai kebawa mimpi pengin ketemu, baik2 disana, kalau ada apa2 langsung kabarin mbak, meski rumah mbak tak selebar rumah kita dulu, tapi Insya Allah akan selalu menunggu Wulan pulang kesini.

Air mataku semakin deras, seolah mengerti apa yang aku rasakan. Kerinduanku memang sangat mendalam hingga tak mampu harus bagaimana kubahasakan. Aku tahu Mbak Sri pun demikian, tapi ia bisa lebih tegar karena telah memiliki keluarga kecil yang baru dua tahun dibina. Selalu ada suami disampingnya yang takkan henti menguatkan hatinya saat rapuh, telah hadir buah hatinya yang bisa menjadi pelipur lara dan pasokan semangat terbesar untuk tetap bertahan menjaga amanahNya. Dan aku? Aku masih menjadi kepompong yang belum bisa berbuat apa-apa. Menambah kuantitas kesabaran yang lebih tinggi untuk menunggu hasil yang senilai dengan usaha yang tengah kulakuakan.

Suatu hari nanti, di tanah perantauan ini aku telah merakit mimpi-minpi baruku. Mimpi yang mungkin tak bisa mengembalikan senyuman ayah dan ibu, tapi akan kubuktikan mimpi ini nyata untuk mereka disana. Kehilangan masa lalu yang indah memang membuatku rapuh untuk melangkah jauh, tapi masih ada harapan yang terlalu berharga untuk disia-siakan dengan kebekuanku menghadapi hidup. Di tempat yang tak lagi ada kebersamaan itu, aku mencoba bertahan meski kadang terasa begitu menyakitkan, aku mencoba tetap tegar meski badai tak henti berkibar. Aku pasti akan pulang, saat mentari kembali ceria dengan sinarnya, saat kelopak bunga kembali mekar dengan indahnya. Dan sampai saat itu tiba, biarkan aku tetap disini, menikmati perjalanan sunyi yang belum bertepi, hingga kutemukan kehangatan itu lagi meski dalam suasana yang berbeda.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline