1. KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI PARANG PISANG
Tradisi Parang Pisang adalah salah satu tradisi yang ada di Pesisir Selatan, tepatnya di Surantih Kecamatan Sutera. Dalam bahasa Minangkabau, Parang artinya 'perang' dan Pisang yang artinya 'buah pisang'. Tradisi ini bertujuan untuk memisahkan bayi kembar sepasang yang lahir di daerah tersebut. Selain itu, tradisi ini juga bertujuan agar anak kembar yang sepasang tadi, yang terdiri atas laki-laki dan perempuan ketika telah dewasa tidak saling menyukai. Tradisi ini juga bertujuan untuk menghindarkan fitah antar adik kakak yang lahir ini. Sekiranya mereka nampak jalan berdua, tidaklah dituduh dengan hal yang buruk oleh masyarakat, karena masyarakat telah tahu bahwa mereka sepasang kakak beradik.
Tradisi ini diawali dengan arak-arakan keluarga Induak Bako menuju rumah keluarga si bayi sambil membawakan bakul yang berisi dengan pisang rebus. Setelah sampai dirumah si bayi, Induak Bako akan melontarkan kalimat protes kepada sang Ibu karena telah membiarkan bayi beda jenis kelamin tinggal di atap yang sama. Lalu Induak Bako melontarkan maksud ingin mengambil salah satu dari Si bayi. Kira- kira begini kalimatnya "Kami induak bako mangandak mambaok pulang salah ciek supayo indak tajadi cilako". Kemudian dilanjutakn oleh penolakan dari keluarga si bayi sehingga terjadilah adu mulut dan Induak Bako melemparkan pisang kepada keluarga Si bayi. Inilah yang menjadi awal dari Parang Pisang. Kegiatan ini berlangsung dengan canda tawa sambil ditonton oleh masyarakat setempat. Akhir dari proses ini adalah penyerahan salah satu bayi kepada keluarga Induak bako karena diskenariokan bahwa keluraga Si bayi kalah. Sejak saat itu, salah satu dari anak kembar sepasang itu akan dibesarkan oleh keluarga Induak Bako.
Menarik sekali tradisi yang satu ini 'kan, sobat ?
2. KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI BA-ILAU
Ba-ilau adalah tradisi yang berasal dari Kecamatan Bayang yang terancam punah. Tradisi ba-ilau adalah tradisi lisan berupa berbalas pantun atau sisomba yang dilantunkan oleh kelompok perempuan dengan irama tertentu yang mengandung kepedihan hati atau parasaian. Fungsi dari ba-iau adalah untuk upacara menangkap harimau, mencari anak hilang, meratapi orang yang meninggal dan memannggil orang rantau yang telah lama tidak pulang.
Ada beberapa alasan mengapa tradisi ini hampir punah. Pertama, seniman tradisi yang menguasai tradisi lisan ini sudah tua. Kedua, tradisi lisan ini tidak diturunkan karean tidank mendapatkan efek ekonomi. Ketiga, upacara-upacayra yang menjadi wadah penampil Ba-ilau seperti upaca pemanggil harimau juga tidak pernah dilakukan.
Bagaimana sobat, ada keinginan untuk mengembangkan tradisi Ba-ilau lagi?
3. KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBUATAN KAPAL BAGAN
Masyarakat Pesisir Selatan memang terkenal dengan mata pencahariannya sebagai nelayan. Terlebih di Sungai Nyalo Mudiak Aia, Kecamatan Tarusan, pinggir Teluk Carocok. Sebagian besar masyarakat disana berprofesi sebagai nelayan. Untuk menunjang pekerjaan tersebut, masyarakat setempat juga bisa membuat kapal (bagan). Uniknya, pembuatan kapal atau bagan disini seratus persen bertumpu kepada kemampuan alami dari tukang bagan yang didapatkan secara turun-temurun.
Tukang Bagan memang tidak pernah mendapatkan ilmu secara formal dalam pembuatan kapal yang besar itu. Namun, kualitas yang dihasilkan tidak boleh diragukan lagi. Karena sampai saat ini, pembuatan bagan oleh masyarakat Mudiak Aie masih eksis ditengah kemajuan teknologi .