Lihat ke Halaman Asli

Sulawesi dan Perjalanan yang Tak Kenal Lelah

Diperbarui: 4 November 2024   20:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja di Paria | Sumber pribadi

Minggu-minggu berlalu dalam hiruk-pikuk pekerjaan baru, yang ternyata sama padatnya dengan sebelumnya. Namun kali ini ada tambahan: kunjungan dinas. Kembali harus mengemas barang, merencanakan perjalanan, dan bersiap menghadapi jalan-jalan panjang yang melelahkan. Ada rasa antusias, tapi juga khawatir. Saya teringat kenangan bertugas di Sulawesi beberapa tahun lalu. Tugas kali ini membawa saya kembali ke sana.

Namun, awal persiapan saja sudah mulai rumit. Perjalanan dimulai dari Bogor, dan rencana awal saya ingin berangkat dari Depok saja, supaya lebih dekat dan praktis. Sayangnya, hati saya berkeinginan lain. Beberapa hari sebelum berangkat, anak saya mengikuti lomba mewarnai, dan saya tak ingin melewatkan kesempatan mendampinginya. Demi keluarga, saya putuskan tetap berangkat dari Bogor.

Sore itu saya menemani anak di acara lombanya, sementara dalam benak saya sudah terlintas persiapan perjalanan. Malam tiba, dan kantuk justru tak kunjung datang. Mata terus terbuka, memikirkan perjalanan tengah malam ke bandara. Jam menunjukkan pukul 12, dan saya berangkat dalam keadaan setengah mengantuk, mata merah, badan lesu. Namun, ada sebersit semangat mengingat bahwa Sulawesi, tempat penuh kenangan, sudah menunggu.

Makassar hanya persinggahan, karena tujuan utama adalah Pinrang, Enrekang, dan Toraja. Berbekal tanggung jawab untuk audit program, saya datang sebagai anggota tim terakhir. Itu artinya, saya harus berpacu dengan waktu, menyusun jadwal dan memastikan pertemuan dengan pihak-pihak penting agar audit berjalan lancar. Namun, jalannya tidak mulus. Belum apa-apa, sudah ada tantangan menanti.

Diskusi lab terpadu | Sumber pribadi

Sesampainya di Pinrang, panas siang yang membakar seakan menguji ketahanan saya. Matahari terik, jalanan lengang tanpa angin---namun, saya tidak menyerah. Sejak awal saya tahu ini bukan perjalanan santai. Melangkah dengan tekad, saya mulai bertemu orang-orang yang harus ditemui, menggali informasi dengan semangat meski badan mulai lelah. Semua dilakukan demi misi audit yang harus terselesaikan.

Ketika beranjak ke Enrekang, saya membayangkan sejenak bisa menikmati secangkir kopi di kedai-kedai lokal. Sebagai penghasil kopi, saya kira budaya ngopi di sana akan serupa dengan Aceh yang terkenal akan kedai-kedai kopinya. Namun, kenyataan tak sesuai harapan. Di Enrekang, kedai kopi justru tutup lebih cepat dari dugaan, dan rasa kecewa muncul perlahan. Harapan menikmati kopi lokal pupus sudah; yang ada hanya kelelahan yang makin menumpuk.

Hari-hari berlalu, dan setengah perjalanan ini penuh rintangan. Setiap tempat yang dikunjungi seakan menyimpan ujiannya sendiri. Cuaca yang tak menentu, pertemuan yang molor, hingga harus mengatur ulang jadwal setiap kali ada kendala baru. Namun, tak ada pilihan selain tetap maju. Tim yang ada pun bukan tim tetap---hanya individu-individu yang kebetulan sama-sama bertugas. Tak ada waktu untuk ragu atau menyerah.

Stasiun iklim di Bokin | Sumber pribadi

Di hari terakhir, tantangan seakan semakin menjadi. Hujan deras mengguyur ketika kami bersiap kembali ke Makassar, memaksa kami menunggu lebih lama di jalanan yang licin dan penuh genangan. Rasa kesal karena tak kunjung tiba di Makassar bertambah ketika mendapati ada anggota tim yang kurang disiplin, membuat kami semua harus menelan pil pahit keterlambatan. 

Perjalanan pulang yang tadinya diharapkan tenang, berakhir dengan kepanikan karena waktu keberangkatan pesawat semakin dekat.
Namun, di tengah segala ketidakpastian dan kesulitan, ada seberkas rasa lega ketika akhirnya menginjakkan kaki di Makassar kembali. Lima hari yang penuh lelah, perjalanan yang tak terduga, namun terselip kepuasan dalam setiap pencapaian kecil yang diraih. Sulawesi kali ini penuh dengan catatan, sebagian besar mungkin lelah dan rintangan, namun semuanya berharga.

Meski demikian, saya masih berharap suatu hari bisa kembali ke Sulawesi dalam suasana yang lebih damai, tanpa tenggat waktu, tanpa terburu-buru. Untuk kali ini, perjalanan berakhir dengan senyuman kecil---senyuman lega karena bisa pulang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline