Lihat ke Halaman Asli

Tentang Merantau

Diperbarui: 15 Oktober 2024   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merantau | Sumber gambar : zonautara

Sebelumnya, saya sama sekali tidak pernah membayangkan untuk merantau. Selayaknya manusia biasa, dari kalangan menengah yang tak begitu istimewa secara akademis, saya sering merasa tak punya cukup kelebihan untuk bersaing. Untuk sekadar mencoba pun rasanya enggan. Beginilah nasib seorang medioker ketika berpikir atau dihadapkan dengan tantangan: belum apa-apa, sudah ingin menyerah. Sebagai anak kampung yang tumbuh di kota kecil, impian untuk keliling Indonesia terasa seperti khayalan belaka---jauh, tak tergapai. Apalagi soal jodoh? Itu pun tak pernah terlintas dalam pikiran saya. Merantau, apalagi sampai menemukan jodoh di perantauan, adalah hal terakhir yang mungkin saya bayangkan.

Hidup saya dulu begitu datar, sederhana. Saya nyaman dalam kehidupan yang biasa-biasa saja, tanpa ekspektasi yang tinggi. Selepas kuliah, rencana saya hanya bekerja sebagai tenaga honorer di kantor kelurahan dekat rumah, atau mengikuti jejak bapak saya sebagai karyawan bank. Segala hal terasa sudah terukur, sudah ada jalannya. Lingkungan kecil dan homogen di mana saya tumbuh membuat hidup terasa mudah ditebak. Tetapi, mungkinkah hidup hanya sebatas ini?

Di balik semua kenyamanan itu, ada rasa penasaran yang mulai menyusup perlahan. Saya mulai bertanya-tanya, "Apakah ini saja hidup saya? Apakah tidak ada sesuatu yang lebih di luar sana?" Dunia kecil tempat saya tumbuh nyaman, tapi saya tak bisa mengabaikan keinginan untuk melihat sesuatu yang lebih besar.

Di saat-saat pencarian kerja pasca lulus kuliah, ketika saya hanya menunggu waktu wisuda, dorongan itu semakin kuat. Saudara laki-laki saya, yang sudah lebih dulu merantau, tak henti-hentinya mengajak saya untuk keluar dari zona nyaman ini. Saat itu, dia baru beberapa bulan bekerja di sebuah perusahaan otomotif, tapi sudah sesumbar mengajak saya untuk berani mengambil langkah serupa. "Ayo dong, keluar dari zona ini. Dunia di luar sana beda banget!" katanya dengan semangat.

Meski awalnya saya ingin mengabaikan ajakannya---menganggap itu hanya semangat sesaat dari orang yang baru mencoba kehidupan di perantauan---kata-katanya terus saja menggoda. Dia sudah lebih dulu merantau, lebih dulu berani melangkah keluar dari kenyamanan yang selama ini membungkus saya. Dan di masa-masa pencarian kerja yang penuh ketidakpastian, saran-sarannya mulai meresap, menanamkan rasa ingin tahu yang semakin kuat di hati saya.

Pertemuan dengan dia saat itu menjadi titik balik yang tak pernah saya duga. Rasa penasaran yang selama ini saya coba abaikan perlahan berubah menjadi keberanian. Niat awalnya hanya sekadar iseng, menunggu waktu pembukaan seleksi karyawan bank, tetapi siapa yang bisa menyangka? Langkah kecil itulah yang justru membawa saya ke perjalanan yang jauh lebih besar. Hampir dua belas tahun saya menghabiskan waktu bekerja di perantauan, dari Sabang hingga Merauke, menjelajah kota-kota yang sebelumnya tak pernah ada dalam bayangan saya. Setiap kota menyimpan cerita, teman baru, dan pengalaman yang memperluas cara pandang saya terhadap hidup.

Yang lebih mengejutkan lagi, di tengah perjalanan panjang ini, saya bertemu dengan jodoh saya---seorang perempuan dari Bogor. Sesuatu yang dulu bahkan tak pernah terlintas dalam pikiran saya. Sekarang, saya menetap di kota hujan---ya, lebih tepatnya di kabupaten---dan ini adalah sesuatu yang tak pernah saya bayangkan akan terjadi.

Keputusan untuk merantau, yang awalnya dilandasi oleh rasa penasaran dan dorongan dari saudara laki-laki saya, ternyata membawa saya ke jalan yang jauh lebih luas dan penuh warna. Hidup di lingkungan yang homogen memang nyaman, tetapi saya belajar bahwa keluar dari zona nyaman adalah salah satu cara terbaik untuk tumbuh. Meski sekarang saya masih berada dalam masa perjuangan, saya yakin bahwa langkah kecil ini, yang dulunya hanya didorong oleh rasa ingin tahu dan ajakan saudara saya, adalah langkah yang benar.

Perantauan mengajarkan banyak hal yang tak bisa saya pelajari di tempat asal. Dari rasa penasaran yang sederhana, kini saya melihat bahwa kehidupan di luar sana penuh dengan peluang yang menunggu untuk dijelajahi. Siapa sangka, ajakan sesumbar saudara laki-laki saya justru menjadi titik awal dari perjalanan yang tak pernah saya duga akan terjadi. Perjalanan ini belum selesai, tetapi setiap langkah yang saya ambil di perantauan telah membuat saya lebih kuat, lebih bijak, dan lebih siap untuk menghadapi masa depan.

Catatan penulis :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline