Mungkin sebagian orang akan menganggap saya terlalu lemah untuk tulisan kali ini. Tapi tidak ada salahnya saya mungkin akan berbagi cerita untuk dijadikan renungan bersama, syukur - syukur bisa berbagi pengalaman juga.
Semua bermula dari beberapa kali saya mengikuti rangkaian interview dan tes di Jakarta. Selayaknya pencari kerja, saya mengikuti semua rangkaian tersebut baik yang diadakan secara daring maupun secara luring. Sebenarnya saya sendiri acapkali berpikir, beberapa kegiatan yang dilakukan secara luring ini bisa dilakukan secara daring. Selain hemat waktu tentu juga hemat biaya terutama di biaya transportasi dari rumah menuju lokasi tes, terlebih setelah mengetahui beberapa pekerjaan tersebut mayoritas akan dikerjakan secara daring jika diterima.
Beberapa kali kembali ke Jakarta tentunya membutuhkan biaya tidak sedikit. Biaya untuk transportasi, biaya untuk makan hingga biaya - biaya tak terduga lainnya selalu menjadi pertimbangan saya. Sebagai mantan seorang staff finance tentunya saya selalu membuat rincian biaya apa saja yang akan keluar. Beberapa biaya tak terduga kemarin juga sempat membuat saya ternganga, kendaraan yang biasa saya gunakan mengalami kerusakan ternyata membuat saya harus lebih merogoh uang tabungan yang tak seberapa ini semakin dalam lagi. Meringis jika mengingatnya.
Selain memikirkan biaya, terkadang saya juga memikirkan kondisi cuaca yang akan berpengaruh pada kesehatan fisik. Bayangkan saja kemarin dari Harjamukti menuju rumah di Sukamakmur dengan hujan deras saya yang hanya menggunakan kendaraan roda dua dengan minimnya penerangan di kabupaten ini membuat saya harus lebih waspada. Mantel yang digunakan sekalipun bermerk ternyata lama - lama akan membuat saya menggigil setelah 1,5 jam perjalanan menyetir. Hal itu diperparah ketika sampai rumah ternyata gas habis, sehingga batal sudah membilas badan dengan air hangat.
Hingga akhirnya hari ini, ketika saya sedang selesai melakukan ibadah sholat Dhuhur. Saya mendapatkan notifikasi penolakan terkait dengan proses interview dan tes yang sudah saya lakukan secara luring di kantor di wilayah Jakarta Selatan tersebut.
Lemas badan ini seketika, rasanya kok dari sekian lamaran semuanya berakhir belum ada yang sesuai. Beberapa kali mengedit CV, mengikuti beberapa pelatihan yang tanpa sadar kembali menguras biaya, hingga beberapa kali juga ke Jakarta nyatanya belum berjodoh kali ini. Melamar di Bogor dengan kualifikasi yang dimaksud saja sukar diterima lantas di Jakarta tiba - tiba juga tidak berjodoh rasanya menjadi pukulan yang bertubi - tubi. Yang tadinya sudah optimis kembali menjadi pesimis.
Saya belum tahu akan melakukan apalagi setelah ini, terlalu lama di rumah nyatanya membuat saya makin dangkal dalam berpikir. Makin susah mendapatkan hal - hal baru yang biasanya dengan mudah saya olah menjadi informasi atau menyampaikan dalam bentuk tulisan - tulisan yang lebih menarik. Saya sudah mengalami momen kebuntuan, setelah kemarin mental block sepertinya kali ini akan lebih parah lagi di level pasrah. Kemana lagi untuk mulai bekerja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H