Sebenarnya tulisan ini dibuat berdasarkan keadaan lapangan tentang masalah ojek/taksi yang berbasis aplikasi. Banyak surat kabar yang memberitakan tentang pengendara ojek/taksi online yang diserang oleh pengendara ojek/taksi konvensional. Kebanyakan alasannya yaitu bahwa orderan mereka jadi berkurang. Di benak saya berpikir, sebenarnya apa sih salah mereka? Toh mereka juga mencari uang yang halal agar dapat bertahan hidup.
Oke, kita tinggalkan hal tersebut. Sebelum memulai hal yang lebih lanjut, mari kita lihat sejarah transportasi di Indonesia khususnya transportasi yang bersinggungan dengan apa yang akan kita bahas yaitu soal taksi dan ojek.
Taksi menurut wikipedia yaitu sebuah transportasi non-pribadi yang umumnya adalah sedan serta dapat merujuk kepada angkutan umum lain selain mobil yang mengangkut penumpang dalam kapasitas kecil, misalnya "taksi air", yang sebenarnya mungkin hanya berupa sampan. Sedangkan ojek menurut wikipedia adalah transportasi umum tidak resmi di Indonesia berupa sepeda motor atau sepeda yang disewakan dengan cara memboncengkan penumpang. Di Indonesia baik taksi maupun ojek sering kita temukan di berbagai daerah, terutama di kota-kota besar.
Seiring dengan berkembangnya teknologi memaksa kita untuk lebih kreatif dan inovatif. Dampak yang paling nyata dari perkembangan teknologi di bidang transportasi yaitu merebaknya aplikasi pemesanan taksi/ojek, sehingga kita tidak susah payah untuk mencari atau menunggunya di pinggir jalan. Namun hal tersebut ternyata menimbulkan masalah tersendiri yaitu taksi/ojek konvensional mulai terpinggirkan. Terlebih lagi transportasi online menyediakan layanan lebih diantaranya pengiriman barang, dll.
Hal tersebut sebenarnya mengindikasikan bahwa masyarakat lebih memilih transportasi berbasis aplikasi daripada yang konvensional. Kita semua mau gak mau harus menerima semuanya itu. Jika kita melihat pengemudi taksi/ojek konvensional menuntut instansi yang berwenang untuk melarang transportasi online beraktifitas sepertinya menurut saya itu kok tidak bijak. Ibaratnya A punya toko bersebelahan dengan tokonya B. Kemudian toko A lebih banyak didatangi pembeli, sedangkan toko B pembelinya sedikit. Kemudian toko B menuntut instansi yang berwenang untuk menutup toko A.
Seharusnya kita memutar otak bagaimana caranya agar toko B bisa bersaing dengan toko A, bukannya menuntut untuk menutup toko A. Hal itu semua sebenarnya mencerminkan bagaimana kepribadian masyarakat di negeri ini.
Sekedar contoh, ada salah satu perusahaan taksi konvensional yang berafiliasi dengan perusahaan penyedia jasa transportasi daring. Sebenarnya itu dapat dijadikan contoh bagi para penyedia jasa transportasi konvensional, atau bisa saja membuat sistem daring sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H